
Filsafat sebagai Dasar Profesi Kepelatihan Olahraga
ESAI NARATIF
N.R. Fadhli
9/10/20254 min read


Tudor O. Bompa, tokoh penting dalam teori kepelatihan olahraga, ada puluhan seri buku yang sudah beliau terbitkan, dalam tulisanya dia sering mengingatkan bahwa seorang pelatih sejati bukan sekadar orang yang menyiapkan program latihan, menghitung repetisi, atau meniup peluit di pinggir lapangan. Lebih dari itu, pelatih adalah seorang pendidik. Seorang guru olahraga, analis, maupun praktisi kepelatihan yang pada dasarnya memiliki tanggung jawab mendidik manusia, bukan hanya melatih tubuh. Dan agar tugas besar itu tidak berjalan asal asalan, mereka membutuhkan filsafat.
Mungkin ada yang langsung terlintas dalam pikiran, mengapa mahasiswa olahraga perlu belajar filsafat. Bukankah filsafat hanya urusan orang serius berkacamata yang betah berjam jam di perpustakaan. Padahal justru di balik kesan rumit itu, filsafat sangat dekat dengan kehidupan sehari hari. Ia tidak melulu bicara teori berat, melainkan dasar berpikir yang membantu kita menentukan arah. Filsafat bisa diibaratkan seperti sistem operasi dalam komputer. Tanpa itu, seluruh aplikasi tidak bisa berjalan. Tanpa filsafat, pelatih hanya berlari tanpa tujuan.
Contoh paling sederhana bisa dilihat ketika kelas olahraga di sekolah. Seorang guru yang berfilsafat humanistik akan berkata, yang penting anak-anak senang bergerak, percaya diri, dan sehat. Maka ia akan menyusun pembelajaran yang membuat siswa terlibat, tertawa, dan berani mencoba hal baru. Push up atau lari keliling lapangan tidak akan lagi terasa sebagai hukuman, tetapi sebagai bagian dari permainan. Guru yang memahami filsafat pendidikan jasmani akan menjadikan olahraga sebagai ruang belajar nilai. Anak diajak untuk belajar kerja sama, menghargai aturan, menerima kekalahan, dan menghormati lawan. Di lapangan sederhana sekalipun, filsafat membuat olahraga berubah menjadi laboratorium karakter, filsafat hadir untuk memberi kerangka. Apa yang dikejar dan bagaimana cara mencapainya. Tidak perlu menteri pendidikan baru, tidak butuh juga kurikulum bombastis yang baru untuk mengajar dengan baik.
Hal serupa berlaku bagi seorang analis olahraga. Ia bisa saja hanya mencatat bahwa seorang pemain menendang bola dua puluh kali dalam satu pertandingan. Namun dengan filsafat kritis, ia bertanya lebih jauh. Apa arti angka itu. Apakah tanda kelelahan, atau justru indikasi pola latihan yang tidak tepat. Tanpa filsafat, analis hanya menjadi tukang hitung. Dengan filsafat, ia mampu membaca cerita di balik data dan memberikan masukan yang lebih berarti.
Bahkan di luar olahraga pun filsafat selalu ada. Seorang dokter selalu memegang filsafat kemanusiaan, bahwa tugas utamanya menolong pasien meskipun hasilnya tidak selalu sempurna. Seorang arsitek memegang filsafat estetika, bahwa rumah bukan hanya bangunan untuk berteduh, tetapi juga ruang yang nyaman untuk hidup serta merenungi kelelahan setelah seharian bekerja. Bahkan seorang penjual bakso pun punya filsafatnya sendiri. Ia berkata dalam hati sambil melototi adonan baksonya, “yang penting kuahnya panas, pelanggan senang, dan mereka kembali besok”. Dari situ kita bisa belajar bahwa profesi apapun pada dasarnya tidak hanya ditopang keterampilan teknis, tetapi juga oleh nilai dan keyakinan yang mendasarinya.
Dalam olahraga, filsafat juga menentukan cara pelatih menghadapi kegagalan. Bayangkan seorang pelatih ekstrakurikuler voli yang baru saja kalah di final. Jika ia hanya memegang filsafat “menang itu segalanya”, maka yang muncul adalah amarah, kekecewaan, bahkan menyalahkan pemain. Namun bila ia berpegang pada filsafat pendidikan, maka kekalahan bisa menjadi guru terbaik. Ia mungkin berkata kepada pemainya, “hari ini kita kalah, tapi kita sedang belajar mengelola tekanan”. Dan itu adalah modal besar untuk masa depan. Filsafat membuat olahraga tidak hanya berhenti pada hasil pertandingan, melainkan menjadi sekolah kehidupan.
Bompa menyatakan bahwa tanpa filsafat, pelatih hanya akan menjadi teknisi tubuh, mirip montir yang memperbaiki mesin. Tetapi dengan filsafat, pelatih menjadi arsitek manusia. Ia paham kapan harus memberi tekanan dan kapan memberi ruang. Ia mengerti kapan fokus pada hasil dan kapan menekankan proses. Ia pun lebih tahan banting saat menghadapi kritik, sebab ia tahu tujuan pekerjaannya lebih besar daripada sekadar papan skor dan upacara pengalungan medali.
Contoh lainnya bisa kita temukan dalam pembinaan atlet muda. Banyak orang tua berharap anaknya cepat jadi juara. Namun pelatih yang berpijak pada filsafat perkembangan akan memilih jalan panjang. Ia menanamkan teknik dasar, kebugaran, dan sikap disiplin terlebih dahulu. Ia tahu bahwa kemenangan instan tidak sebanding dengan risiko cedera atau hilangnya semangat anak di kemudian hari. Filsafat di sini menjadi penuntun moral sekaligus strategi jangka panjang.
Bagi mahasiswa olahraga yang sedang menyiapkan diri menjadi guru, pelatih, atau analis, memahami filsafat berarti menyiapkan diri untuk sesuatu yang lebih dari sekadar karier. Ia berarti menyiapkan diri menjadi teladan. Dalam setiap latihan, dalam setiap kompetisi, bahkan dalam setiap catatan data, filsafat hadir sebagai cahaya yang mengarahkan profesi menuju tujuan yang lebih tinggi.
Maka tidak berlebihan jika Bompa menegaskan pentingnya filsafat sebagai dasar dalam kepelatihan. Tanpa itu, olahraga hanya soal angka, catatan, dan hasil. Dengan itu, olahraga berubah menjadi ruang pembentukan manusia yang utuh. Bagi mahasiswa olahraga, filsafat tidak perlu dianggap beban. Ia justru bumbu yang membuat semua proses terasa lebih hidup. Tanpa bumbu, makanan hambar. Tanpa filsafat, profesi kehilangan makna. Dengan filsafat, olahraga benar benar bisa mencetak bukan hanya juara di lapangan, tetapi juga juara dalam kehidupan.
Yang terakhir agar kita semua mampu berpikir filosofis, ada beberapa kiat yang bisa dijalani. Pertama, biasakan diri untuk selalu bertanya “mengapa” sebelum “bagaimana”, karena pertanyaan sederhana itu akan membuka ruang refleksi. Kedua, jangan puas hanya dengan hafalan teori atau jadwal latihan, tetapi cobalah melihat makna di balik setiap aktivitas, apakah itu membentuk karakter, melatih kedisiplinan, atau menumbuhkan solidaritas. Ketiga, diskusi dengan teman, dosen, maupun praktisi akan memperkaya sudut pandang, sebab filsafat tumbuh subur lewat pertukaran pikiran. Dan yang paling penting, jangan malas MEMBACA. Buku adalah jendela terbesar menuju dunia filsafat, baik buku tentang teori kepelatihan Bompa maupun karya para filsuf dan pemikir olahraga. Dengan membaca, mahasiswa akan belajar menimbang gagasan, mengaitkan teori dengan pengalaman, dan akhirnya menemukan landasan filosofis yang kokoh untuk menjalani profesinya.
Baca Juga: Olahraga: Dari Toko Emas ke Kelas Kehidupan; Pulau Eksotik, Pendidikan yang Membumi dan baca juga lainnya di News & Blog
OUR ADDRESS
Perum Pondok Bestari Indah, Blk. B1 No.49B, Dusun Klandungan, Landungsari, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65151
CONTACT US
WORKING HOURS
Monday - Friday
9:00 - 18:00
