Pulau Eksotik, Pendidikan yang Membumi

ESAI NARATIF

N.R. Fadhli

8/27/20252 min read

Saya datang dari Malang ke Mataram untuk sebuah penelitian kecil tentang aktivitas fisik anak-anak balita. Di benak saya, Mataram adalah kota: pusat pemerintahan, pendidikan, dan geliat pariwisata Lombok. Tetapi, di lapangan, saya menemukan hal menarik yang membuat saya merenung. Sebuah kota ternyata tidak hanya diukur dari gedung dan jalan, tetapi juga dari cara masyarakatnya memaknai pendidikan.

Dalam beberapa kesempatan berbincang dengan orang tua (dalam rangka penelitian), saya mendapati beragam pandangan tentang pendidikan anak usia dini. Ada yang penuh semangat, ada pula yang menganggapnya sekadar formalitas sebelum masuk SD. Aktivitas fisik anak, yang saya teliti, kadang masih dipandang sebagai “main-main”, belum sepenuhnya dilihat sebagai bagian dari proses belajar. Saya bisa memahami hal itu; kesibukan orang tua, tekanan ekonomi, hingga kebiasaan sehari-hari membuat perhatian terhadap detail kecil perkembangan anak sering terpinggirkan.

Menariknya, situasi ini menghadirkan paradoks yang membuat saya banyak belajar. Di satu sisi, fasilitas pendidikan di Mataram cukup tersedia, sekolah-sekolah dengan nama kreatif mudah ditemukan. Di sisi lain, masih ada jarak antara ketersediaan fasilitas dan pola pikir tentang pentingnya pendidikan di usia emas anak. Anak-anak di pusat kota, misalnya, lebih sering menghabiskan waktu dengan gawai ketimbang bermain bebas yang sesungguhnya kaya manfaat bagi tumbuh kembang mereka.

Selasa sore, setelah pagi sampai siang kita keliling wawancara dengan guru dan orangtua anak PAUD, saya duduk berbincang dengan seorang dosen UNDIKMA di sebuah warung kopi sederhana di sebelah kampus. Obrolan kami ringan, tapi lama-lama menjelma jadi refleksi filosofis.

“Lihatlah ironi ini,” kata beliau sambil menyesap kopi hitam. “Anak-anak di Lombok dikelilingi laut biru dan gunung gagah, tapi justru sering terkurung layar 6 inci yang sudah kusam tergesek jari-jari kecil mereka. Mereka hidup di pulau eksotik, tapi masa kecilnya terasa sempit. Kita punya Mandalika yang berderu dengan mesin balap dunia, tapi masih banyak anak yang berlari hanya di halaman sempit tanpa rumput.”

Saya terkekeh, agak getir. “Itu seperti paradoks kemajuan, ya? Infrastruktur berkelas dunia, tapi kesadaran dasar tentang pentingnya gerak dan permainan bagi anak-anak justru masih samar.”

Beliau mengangguk. “Betul. Pendidikan kita sering dikurung dalam formalitas. PAUD dianggap sekadar tempat menunggu anak cukup umur untuk SD. Padahal, di situ letak emasnya. Ironisnya, masyarakat kita lebih percaya pada kursus calistung ketimbang permainan bebas yang membentuk daya imajinasi dan sosial anak. Kita ini sedang sibuk membangun gedung sekolah, tapi lupa membangun cara berpikir.”

Kalimat itu menampar saya. Sok filosofis sekali, tapi syarat kenyataan. Saya jadi teringat betapa banyaknya orang tua yang masih mengukur keberhasilan anak PAUD dari seberapa cepat bisa membaca, bukan seberapa bahagia ia bermain.

Namun, saya optimis. Pulau Lombok sendiri adalah tanah yang eksotik: laut biru yang memesona, gunung gagah yang menantang, hingga Sirkuit Mandalika yang kini mendunia. Dengan kemegahan itu, ada dorongan besar agar kemajuan juga meresap ke dalam ruang-ruang kecil pendidikan, terutama bagi anak-anak. Saya percaya, jika pariwisata bisa mengangkat nama Lombok ke dunia, maka pendidikan juga bisa mengangkat kualitas generasi mudanya ke masa depan yang lebih baik.

Keyakinan saya bertambah kuat karena kolaborasi saya dengan para peneliti olahraga ternama dari UNDIKMA, salah satu kampus pencetak guru terbaik di NTB. Dosen yang saya temui itu menutup obrolan dengan kalimat yang masih saya ingat jelas: “Kita ini sedang berlomba dengan waktu. Jangan sampai anak-anak kita kalah start, karena kita lebih sibuk mengejar tamu wisata ketimbang menyiapkan tuan rumah masa depan.”

Mataram, dan Lombok pada umumnya, memang sedang belajar menjadi kota dan pulau yang benar-benar berdaya: indah secara alam, maju secara infrastruktur, dan matang dalam kesadaran pendidikan. Dari penelitian kecil ini saya belajar, eksotisme Lombok tidak hanya ada di pantai atau sirkuit, tetapi juga bisa terwujud dalam cara masyarakatnya menyiapkan generasi emas.