

“Berapa banyak atlet yang kariernya hancur sebelum mencapai puncak hanya karena latihan yang berlebihan? Berapa banyak jiwa yang runtuh karena tekanan mental dalam dunia olahraga yang katanya ‘sehat’? Ketika prestasi menjadi berhala baru, olahraga kehilangan ruhnya. Di sinilah filsafat Islam menawarkan keseimbangan: Wasathiyah sebagai jalan tengah yang menyelamatkan tubuh, jiwa, dan akal.”
Konsep wasathiyah atau moderasi dalam khazanah Islam memiliki berbagai makna. Menurut al-Shallabi, istilah ini berasal dari kata wasath yang berarti “tengah” atau “antara”, dan juga dari wasatha yang mencakup arti sebagai posisi tengah, pilihan terbaik, keadilan (al-‘adl), serta sikap moderat antara yang baik dan buruk. Salah satu idola saya Nur Cholis Majid dikenal sebagai pelopor gagasan Islam moderat. Ia menekankan pentingnya pluralisme, toleransi, dan modernitas, dengan tujuan utama bukan negara Islam, melainkan keadilan sosial bagi semua, sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Baginya, fanatisme lahir dari pandangan sempit, sementara Islam mengajarkan kelapangan berpikir dan sikap moderat dalam beragama. Nilai ini sangat relevan ketika kita melihat bagaimana olahraga, baik di tingkat global maupun nasional, semakin sarat dengan persoalan etika, ketimpangan, dan penyimpangan nilai-nilai sportivitas.
Secara global, dunia olahraga menghadapi tantangan serius yang menguji prinsip-prinsip keadilan. Salah satunya adalah kemunculan istilah “Enhanced Games” yang merupakan ajang olahraga yang membolehkan penggunaan obat peningkat performa. Tujuannya untuk menantang aturan ketat Olimpiade tradisional, sambil mengutamakan keselamatan atlet dan mendukung keberlanjutan ekonomi serta lingkungan. Inisiatif ini dikritik oleh lembaga anti-doping internasional (WADA) karena secara terang-terangan mencederai nilai keadilan dan keselamatan atlet (AP News, 2024). Enhanced Games menunjukkan cara pandang baru dalam dunia olahraga, yaitu fokus pada menjaga kesehatan atlet, bukan sekadar melarang penggunaan zat tertentu. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa aturan anti doping selama ini lebih menekankan pelarangan daripada perlindungan. Jika kita benar-benar peduli pada kesehatan atlet, maka pendekatan pengurangan risiko justru bisa lebih bermanfaat. Ini sejalan dengan perubahan cara berpikir tentang kebijakan penggunaan obat di luar olahraga, yang kini lebih mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan manusia. Ini semua menunjukkan bahwa tanpa nilai wasathiyah, olahraga mudah tergelincir menjadi arena dominasi dan manipulasi.
Di Indonesia, permasalahan etika dan tata kelola dalam olahraga juga menjadi sorotan. Ratusan atlet Indonesia dari berbagai cabang, seperti angkat berat dan binaraga, dinyatakan positif doping oleh Lembaga Anti-Doping Indonesia (IADO). Kasus ini bukan hanya mencederai reputasi olahraga nasional, tetapi juga menunjukkan lemahnya edukasi dan pengawasan terhadap nilai keadilan dan keselamatan atlet. Selain itu, praktik nepotisme dan korupsi di lembaga-lembaga olahraga terus mencuat. Campur tangan politik dalam proses seleksi dan penunjukan pejabat olahraga sering kali mengabaikan prinsip meritokrasi. Ini adalah bentuk nyata pelanggaran terhadap nilai keadilan yang menjadi inti dari wasathiyyah.
Kasus lainya yang masih terngiang dan sangat menghantui olahraga kita adalah kekerasan suporter dan lemahnya sistem pengamanan stadion menjadi masalah lain yang mencoreng wajah olahraga nasional. Tragedi Kanjuruhan pada 2022, yang menewaskan 135+ orang akibat penggunaan gas air mata dalam stadion tertutup, memperlihatkan kelalaian dalam menerapkan prinsip kemanusiaan dan moderasi. Kekerasan dalam olahraga, baik dari suporter maupun aparat, merupakan bentuk ekstremisme yang bertentangan dengan semangat wasathiyyah.
Sebagai solusi, penerapan nilai wasathiyah dalam dunia olahraga harus diwujudkan secara konkret. Pertama, melalui penguatan regulasi anti-doping yang bersifat preventif dan edukatif. Lembaga seperti IADO perlu tidak hanya menghukum, tetapi juga membina dan mendidik atlet sejak usia dini tentang pentingnya kejujuran dan kesehatan. Kedua, tata kelola organisasi olahraga harus dilandasi oleh prinsip transparansi dan akuntabilitas, menjauh dari kepentingan politik praktis. Seleksi pejabat olahraga harus berbasis pada kompetensi dan integritas. Ketiga, pendidikan karakter berbasis nilai moderasi dan toleransi penting untuk ditanamkan kepada atlet, pelatih, hingga suporter. Program pelatihan dan kurikulum olahraga sebaiknya tidak hanya fokus pada keterampilan fisik, tetapi juga membentuk kepribadian yang inklusif dan berkeadaban. Terakhir, masyarakat harus diberdayakan untuk ikut serta mengawasi jalannya roda organisasi olahraga, baik melalui sistem pelaporan publik, whistleblowing, maupun forum komunitas.
Dengan menjadikan wasathiyyah sebagai paradigma dalam pembangunan olahraga, kita tidak hanya membangun prestasi, tetapi juga menciptakan ruang yang adil, sehat, dan bermartabat bagi semua pelaku olahraga. Seperti yang ditegaskan oleh Nur Cholis Majid, keberagaman dan perbedaan harus dijawab dengan keterbukaan, kemandirian, dan kematangan berpikir. Fanatisme dan ekstrimisme dalam olahraga hanya akan membawa pada kehancuran nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasi utama dari kegiatan yang menjunjung tinggi semangat persaudaraan, kerja sama, dan damai.
Sumber: Active Movement Indonesia
Baca Juga: PORPROV JATIM IX Malang Raya: Olahraga dan Manfaat Terbesar Bagi Sebanyak Mungkin Orang dan baca juga lainnya di News & Blog

