Bukan Sekadar Alternatif: Voli Pantai dan Masa Depan Olahraga Indonesia

OPINI

N.R. Fadhli

6/18/2025

Baru selesai final Volleyball World Beach Pro Tour (BPT) 2025 level Future kategori putra antara pasangan Indonesia melawan pasangan muda brasil, hasilnya Indonesia kalah dan menempati peringkat 2 dunia, ini keren. Mungkin dalam satu dekade terakhir, tim nasional voli pantai Indonesia terus menunjukkan peningkatan performa yang menjanjikan, namun tantangan terbesar justru datang bukan dari medan pertandingan, melainkan dari perhatian dan dukungan yang masih sangat minim dari masyarakat. Jika dibandingkan dengan bola voli, cabang voli pantai belum mendapatkan tempat yang layak dalam ekosistem olahraga nasional, baik dari segi media, sponsor, infrastruktur, maupun pembinaan jangka panjang. Padahal, jika ditinjau dari perspektif sport science dan potensi geografis Indonesia, justru voli pantai memiliki keunggulan strategis yang belum tergarap optimal.

Meski bola voli lebih populer, justru voli pantai Indonesia yang lebih berprestasi di level dunia, dengan pencapaian seperti langganan medali pada event Asian Games dan tampil di FIVB World Tour. Hal ini terjadi karena voli pantai hanya butuh dua atau maksimal empat pemain, biaya pembinaan lebih rendah, iklim Indonesia mendukung latihan sepanjang tahun, dan peluang kompetisi internasional lebih terbuka. Sebaliknya, bola voli membutuhkan infrastruktur mahal, tim besar, dan sistem liga kuat yang masih jadi tantangan di Indonesia.

Dari sudut pandang sport science, voli pantai menuntut kemampuan fisik yang sangat tinggi. Permukaan pasir menyebabkan gerakan menjadi lebih berat, memaksa otot-otot utama bekerja lebih keras. Atlet harus memiliki kekuatan otot inti, daya tahan otot kaki, dan kestabilan sendi yang lebih baik dibandingkan atlet bola voli. Selain itu, permainan yang hanya melibatkan dua pemain per tim membuat tuntutan keterampilan sangat komprehensif: seorang pemain harus bisa melakukan servis, passing, set, spike, hingga bertahan dalam satu pertandingan. Kebutuhan ini menuntut pelatihan motorik yang lebih luas, pengambilan keputusan yang cepat, dan adaptasi mental yang tinggi terhadap tekanan serta kondisi alam yang berubah-ubah seperti angin, panas matahari, dan kelembaban.

Uniknya, dalam voli pantai, faktor antropometri tidak seketat dalam bola voli. Jika di bola voli tinggi badan sangat menentukan, terutama untuk posisi blocker dan spiker, maka di voli pantai, aspek seperti kecepatan, kelincahan, koordinasi, serta daya jelajah tubuh menjadi lebih penting. Untuk bola voli, rata-rata pemain memiliki tinggi 198–203 cm, dengan posisi seperti middle blocker bisa mencapai 205–210 cm. Misalnya, rata-rata tinggi tim putra USA di Olimpiade Tokyo 2020 adalah 199 cm (Team USA), sementara tim Rusia sekitar 203 cm berdasarkan data FIVB dan Olympics.com. Sedangkan pada voli pantai putra, rata-ratanya lebih rendah, sekitar 190–195 cm, karena menuntut kelincahan dan daya jelajah. Contohnya, Anders Mol (199 cm) dan Christian Sørum (190 cm) dari Norwegia meraih emas di Tokyo 2020 (Olympics.com), sementara atlet USA Taylor Crabb hanya 188 cm tetapi tetap kompetitif (BVBInfo). Hal ini membuka peluang besar bagi atlet-atlet Indonesia yang umumnya memiliki postur tidak setinggi pemain Eropa atau Amerika, namun unggul dalam aspek kecepatan, fleksibilitas, dan daya adaptasi. Dalam konteks ini, karakter tubuh atlet Indonesia justru sangat potensial untuk bersaing di cabang voli pantai.

Lebih jauh lagi, potensi geografis Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 81.290 km lebih yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Potensi ini seharusnya menjadi modal utama dalam pengembangan voli pantai. Ribuan kilometer garis pantai dari Sabang sampai Merauke menyajikan peluang besar untuk menjadikan pantai-pantai sebagai arena pembinaan sekaligus kompetisi. Ini bukan hanya soal fasilitas, tapi juga soal identitas. Voli pantai bisa menjadi cabang olahraga yang tidak hanya unggul dalam prestasi, tetapi juga mencerminkan karakter kepulauan Indonesia yang terbuka, dinamis, dan adaptif terhadap alam.

Sayangnya, hingga kini potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Fasilitas latihan voli pantai masih sangat terbatas, pelatih bersertifikat pun belum merata. Program pembinaan di daerah-daerah pesisir jarang menyentuh cabang ini secara sistematis. Dalam hal ini, perlu ada kesadaran kolektif dari pemerintah, federasi, akademisi olahraga, dan pelaku industri olahraga untuk membangun roadmap pengembangan voli pantai yang berbasis sport science, data antropometri atlet lokal, serta kekayaan geografis yang dimiliki Indonesia.

Jika pengembangan dilakukan secara strategis dan berbasis ilmu, voli pantai bisa menjadi cabang olahraga unggulan Indonesia, bukan hanya karena prestasi, tetapi juga karena keunikannya yang sesuai dengan konteks budaya dan kondisi alam negeri ini. Maka sudah saatnya voli pantai tidak lagi dipandang sebagai olahraga pelengkap, tetapi sebagai kekuatan utama dalam peta olahraga nasional.

Sumber: Google Image