Dalam derasnya arus kehidupan modern yang dipenuhi oleh tanggung jawab, target kerja, cicilan yang ga ada ujung, dan serbuan broadcast dakwah grup WhatsApp keluarga, seorang pria dewasa kadang-kadang merasa dirinya hanyalah mesin biologis, yang bergerak dari satu kewajiban ke kewajiban lain. Maka izinkanlah aku, wahai istriku tercinta, untuk menyampaikan permohonan sederhana: jangan larang aku bermain bola.
Bagi dunia, itu mungkin kegiatan biasa. Tapi bagiku, ini adalah bentuk tertinggi dari eksistensi. Kalau katanya Sartre menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi", maka izinkan aku menemukan esensiku, di lapangan bola, bersama teman-teman yang perutnya sudah tidak rata, namun angan-nya tak kalah dari Lamine Yamal.
Di hadapanmu, aku adalah suami. Di hadapan anak-anak, aku ayah. Di hadapan atasan, aku karyawan. Di hadapan PLN, aku konsumen yang selalu dihantui “tit-tit-tit-tit” karena telat top up. Tapi di lapangan bola, aku adalah aku. Tidak ada hierarki, tidak ada struktur birokratis. Yang ada hanyalah keringat, semangat, dan bola yang bundar sebagai simbol demokrasi sempurna, siapa saja boleh mengejarnya. Walau kenyataannya kadang teman terlalu angkuh untuk memberiku umpan.
Bermain bola adalah bentuk tertinggi dari kebebasan. Seperti yang dikatakan oleh filsuf eksistensialis Camus, manusia sejati harus berani "menikmati absurditas". Maka, ketika aku berlari mengejar bola hasil umpan tanpa perhitungan temanku, ketika aku mencoba salto dengan kaki kaku hanya demi menahan tendangan lawan, di situlah aku menemukan absurditas itu. Tapi justru di sanalah letak kenikmatannya. Hidup tidak perlu selalu logis. Kadang yang kita butuhkan hanyalah menjadi lucu agar tetap waras.
Kau mungkin berpikir, wahai istriku, bahwa sepak bola hanyalah cara pria menghindar dari tugas rumah. Tapi tidak. Justru dari sinilah aku mendapatkan energi untuk kembali menjemur baju, mencuci piring (kalau mood bagus), nyapu lantai atau menghiburmu saat kamu kesal karena paket online shop ternyata isinya baju yang salah ukuran.
Bermain bola adalah proses pemulihan eksistensial. Kata orang yang ahli psikologi, namanya coping mechanism, cara manusia mengatasi tekanan hidup. Ada yang shopping, ada yang nonton drama Korea, ada yang memandikan burung, ada yang menolong ikan tenggelam dan ada juga yang memilih menyiram tanaman. Aku? Aku memilih menendang bola sekeras mungkin sambil meneriakkan "huancikkk....!" sebagai katarsis dari tumpukan stres.
Filsuf stoik Epictetus berkata, stoik ini lagi tren dikalangan gen z, dasar mereka memang individualis,, hahahaha, Epictus menyatakan “Bukan hal-hal yang menimpa kita yang mengganggu kita, tapi bagaimana kita menafsirkannya.” Maka izinkan aku menafsirkan hidup ini dari perspektif lapangan, kadang bola memang tidak masuk, kadang kita kena kartu kuning, tapi pertandingan terus berjalan. Sama seperti kehidupan pernikahan kita, bukan?
Aku tahu, tidak ada aroma romantis dari pria uzur sok imut yang pulang bermain bola dengan nafas tersengal dan kaos basah. Tapi wahai istriku, bukankah cinta sejati terletak pada penerimaan? Bukan pada parfum mahal atau makan malam mewah, tapi pada momen ketika kau menyambutku pulang sambil berkata, “mandilah dulu sebelum suapin anak-anakmu yang dari siang menunggumu.”
Lihatlah sisi romantisnya. Bukankah ini bentuk cinta dalam versi paling manusiawi? Aku berlari-lari di lapangan, mempertaruhkan engkel yang rapuh, agar ketika aku duduk di sebelahmu malam nanti, aku bisa berkata, “Aku bahagia hari ini.” Dan bukankah pasangan yang bahagia adalah pondasi rumah tangga yang kuat?
Kalau kita terlalu lama hidup dalam rutinitas tanpa ruang bermain, rumah tangga bisa menjadi seperti formasi 4-3-3 versi rata-rata Vo2max 35, rapi dan teratur, tapi kaku dan tanpa variasi serangan. Maka biarlah aku menjadi pemain tua yang masih mencoba mencetak gol kebahagiaan kecil, bukan untuk menang, tapi untuk bertahan hidup dengan senyum di wajah. Mungkin kau tak pernah melihat sepak bola sebagai bentuk kontemplasi. Tapi percayalah, ketika aku berdiri menatap gawang, merasakan hembusan angin sore dan menyesap aroma rumput dan tanah basah, di situlah aku mengalami sejenis meditatio viva. praktik meditasi "hidup" yang mengintegrasikan kesadaran penuh ke dalam aktivitas sehari-hari, bukan hanya saat duduk diam dalam meditasi formal. Di lapangan, aku hadir secara total. Tak ada pikiran tentang deadline pekerjaan, tak ada kekhawatiran soal isi saldo. Hanya bola dan kaki. Hanya momen kini. Dalam versimu, bukankah mindfulness adalah sesuatu yang sering kamu ikuti di video yoga? Nah, aku punya versiku sendiri. Namanya football-ness.
Wahai istriku, kalau kamu mencintai diriku yang seimbang, yang sabar menemani belanja mingguan dan tidak mengeluh saat menonton sinetron penuh iklan, maka jangan cabut akar rumput lapangan hatiku ini. Biarkan sedikit saja ruang untukku berlari dan merasa hidup. Aku tidak akan mampu seperti zaman muda, main seminggu tiga kali, pulang jam 12 malam. Tidak. Cukup sekali seminggu, dua jam saja. Aku pun akan membawa pulang oleh-oleh gorengan dan susu jahe hangat sebagai kunci gembok pembuka gerbang rumah serta cerita tentang gol-gol imajiner yang tidak pernah dilihat siapapun kecuali teman-teman seperjuangan.
Akhirnya, perlu kau tahu bahwa dalam bola aku juga belajar tentang cinta. Bahwa seperti bola yang bundar, cinta tidak selalu berjalan lurus. Ada momen terpental, tersandung, bahkan nyungsep. Tapi seperti pemain yang tetap mengejar bola sampai peluit akhir, aku pun akan terus mengejarmu dalam cinta, meski kadang kamu marah hanya karena aku lupa melipat selimut atau meninggalkan piring setelah makan di depan TV.
Kalau kamu bisa mencintai drama Korea yang penuh lelaki berjas dan lighting indah, maka izinkan aku mencintai sepak bola yang penuh peluh dan teriakan "awas kiper!", umpan woiii..!!!. Bukankah hidup adalah soal keseimbangan? Maka biarkan kita seimbang: kamu dengan hobi menggocek layar keranjang orange, aku dengan hobi menggocek bola di tanah becek.
Aku tidak ingin menjadi pria yang hilang jati dirinya hanya karena menikah. Aku ingin menjadi suami yang utuh, yang tahu cara mencintai, tapi juga tahu cara mencintai dirinya sendiri. Dan salah satu cara mencintai diriku adalah dengan bermain bola. Sederhana. Murah. Tapi bermakna.
Maka sekali lagi,…
Jangan larang aku bersenang-senang.
Karena di balik sepatu bola yang sobek dan lutut yang lecet, ada pria yang sedang berjuang untuk tetap waras, tetap ceria, dan tetap setia.
Bukan hanya pada bola… tapi juga padamu. Ehemmm..Asekkk...



