Tanpa Matematika, Olahraga Hanya Tebakan Belaka

Deskripsi blog

OPINI

N.D. Yanto

11/25/20254 min read

Suatu hari, setelah menyandang gelar sarjana pendidikan matematika, saya kira bisa istirahat sejenak dari dunia analisis dan perhitungan yang ruwet. Saya rasa tidak akan bertemu dengan simbol matematika yang beraneka ragam, tabel sajian data, atau grafik yang bisa bikin kepala puyeng. Sampai suatu hari saya mendapat telepon masuk dari seorang teman dari departemen olahraga: “Bro, tolongin aku analisis data eksperimen metode latihan dong. Cuma dikit kok.“ Cuma? Katanya cuma! Begitu saya buka datanya, isinya ada ratusan baris angka, dengan berbagai variabel seperti , kekuatan otot lengan, daya tahan, dan masih banyak jenisnya, lengkap dengan pre-test dan post-test, yang sebenarnya saya sudah bosan dengan angka-angka yang bikin puyeng dan dia bilang cuma hitung-hitungan. Padahal, itu dunia yang penuh dengan persamaan, statistik inferensial, dan keputusan efektif atau tidaknya metode latihan yang dipakai buat eksperimen. Saya cuma bisa tersenyum miris, menghela napas panjang sambil bergumam: ternyata dalam olahraga, yang namanya “keringat“ tidak hanya keluar di lapangan, tapi juga di depan laptop sambil menghitung p-value.

Lucunya, teman-teman saya yang berasal dari departemen olahraga sering memandang matematika sekedar “alat bantu.“ Mereka sering bilang, “buat apa sih, kami kan bukan anak matematika, yang penting kan hasilnya saja.“ Padahal tanpa analisis statistik, penelitian mereka hanya akan jadi cerita subjektif. Bagaimana bisa membuktikan metode latihan baru lebih efektif dari metode lain? Kalau begitu, apa bedanya riset olahraga dengan obrolan warung kopi, bukan ilmu karena tidak dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah akhirnya saya sadar: matematika itu menggerakkan olahraga dari balik layar, meski pelaku olahraga sering memandangnya sebelah mata.

Dalam olahraga, semua aktivitas sebenarnya menghasilkan data. Seorang sprinter tidak hanya perlu berlari sekencang mungkin, tapi juga berpacu dalam waktu yang perbedaan milidetik sangat berpengaruh. Seorang pemain basket tidak hanya melempar bola saja, tapi harus berhadapan dengan presentase keberhasilan lemparan yang perlu dicatat dan dianalisis. Seorang perenang tidak hanya berenang saja, tapi setiap kayuhan bisa dibandingkan dengan panjang lintasan. Tanpa pemahaman angka, semua data itu hanya jadi catatan di kertas saja. Namun, dengan sedikit kemampuan matematika saja, angka-angka itu bisa jadi bahan refleksi: apakah seorang atlet sudah cukup cepat, cukup konsisten, atau perlu memperbaiki tekniknya.

Seorang pelatih, misalnya, tidak akan menyusun program latihan tanpa dasar perhitungan. Mereka perlu tahu bagaimana intensitas yang tepat agar atlet berkembang tanpa resiko cedera. Dalam latihan fisik, perhitungan sederhana tentang denyut jantung sudah sangat menentukan. Rumusnya mudah: target denyut jantung ( presentase intensitas. Angka sederhana ini bisa memastikan apakah seorang atlet sedang berlatih dengan porsi yang kurang, terlalu berat, atau sudah tepat sesuai kebutuhan tubuh. Dari hitungan yang kelihatannya sangat sederhana itu, keselamatan dan efektivitas latihan bisa dijaga.

Tak hanya soal fisik, matematika juga hadir dalam strategi. Seorang pelatih voli bisa melihat pola kapan timnya sering kehilangan poin. Dari catatan itu, bisa saja dari reli yang terlalu lama, mereka akan melatih pemain agar dapat menyelesaikan reli lebih cepat melalui smash atau strategi blok yang lebih agresif. Pemain basket yang tahu presentase free throw miliknya, katakanlah , bisa mulai berlatih agar mental bermain lebih realistis. Ia sadar, dari 10 tembakan, hanya 7 yang bisa menghasilkan poin. Pengetahuan itu membuatnya lebih siap menghadapi tekanan, terutama ketika pertandingan menemui titik penentuan.

Di cabang olahraga lain, hitungan bisa jadi lebih kompleks tetapi tetap berakar dari prinsip sederhana. Atlet lari marathon misalnya, tidak hanya perlu berlari sejauh mungkin, tetapi juga perlu memerhatikan pace atau kecepatan rata-rata. Katakanlah ia ingin mencapai jarak 5 km dalam waktu 25 menit, berarti ia harus menjaga kecepatan sekitar 200 meter per menit. Tanpa berhitung, bisa saja ia kehabisan tenaga di tengah pertandingan karena terlalu cepat di awal, atau justru tertinggal karena terlalu lambat. Dengan memahami angka, strategi bisa dirancang agar energi terdistribusi secara tepat dari titik awal hingga garis akhir.

Bahkan di luar lapangan, matematika tetap berkontribusi besar. Pada pengaturan pola makan misalnya, atlet tidak bisa makan sembarangan agar tubuhnya tetap proporsional. Semua harus dihitung: berapa kalori yang dibutuhkan, berapa gram protein yang diperlukan untuk menjaga massa otot, atau berapa persen lemak yang diperlukan untuk potensi maksimal. Seorang pemain sepakbola misalnya, dengan berat badan 70 kg membutuhkan sekitar 112-126 gram protein per hari. Perhitungan ini membantu mereka merancang menu makan yang mendukung latihan dan pemulihan. Lagi-lagi, matematika menjadi kunci rahasia dalam keberhasilan fisik.

Kembali pada peneliti olahraga: mau tidak mau mereka terjun ke dunia yang penuh dengan angka. Bayangkan saja penelitian eksperimen metode latihan baru: ada kelompok eksperimen yang menggunakan metode latihan interval, ada kelompok kontrol yang menggunakan metode latihan konvensional. Hasilnya harus diuji apa ada perbedaan yang signifikan. Maka munculah berbagai “hantu” matematika seperti ANOVA, t-test, regresi, sampai effect size. Itu masih eksperimen saja, lalu bagaimana jika ingin mengembangkan metode latihan baru atau instrumen tes, “hantu-hantu” matematika yang seperti apa lagi yang akan muncul. Semua “hantu” itu penuh dengan simbol, angka, dan p-value. Inilah wajah lain olahraga yang jarang orang lain lihat: bukan keringat yang keluar di lapangan, tapi keringat dingin yang keluar sembari menunggu hasil analisis yang tepat.

Pendekatan ini selaras dengan perspektif positivistik, yang percaya bahwa realitas bisa dipahami secara objektif melalui data kuantitatif. Bahwa performa atlet bukan sekedar “terlihat lebih bugar,” tetapi harus dibuktikan dengan skor , denyut jantung, dan catatan waktu. Filsafat positivistik memberi legitimasi bahwa olahraga bisa diteliti secara ilmiah, dengan angka sebagai bahasanya. Tanpa itu, klaim-klaim tentang efektivitas metode pelatihan hanyalah opini. Dengan itu, olahraga menjadi ilmu: teruji, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Maka, kalau ada yang masih meremehkan matematika dalam olahraga, saya hanya bisa tersenyum sinis. Sebab cepat atau lambat, mereka akan datang dengan setumpuk data dan berkata: “Tolongin hitungin dikit dong”. Padahal, “dikit“ itu sering berarti berjam-jam di depan SPSS atau R, mengutak-atik model, sambil ditemani secangkir kopi dingin yang sudah tiga kali dipanaskan.

Akhirnya, kita harus akui bahwa olahraga modern bukan hanya soal otot, tetapi juga soal otak yang terbiasa dengan angka. Atlet yang paham hitungan akan lebih cermat mejaga ritme. Pelatih yang melek statistik bisa menyusun strategi yang lebih jitu. Peneliti yang bersahabat dengan data mampu menyumbangkan temuan yang berpengaruh. Dengan kata lain, kemenangan lahir bukan hanya dari keringat di lapangan, tetapi juga dari logika yang terukur di balik layar. Dan matematika, meskipun sering dianggap menyebalkan, diam-diam adalah MVP (Most Valuable Player) yang sesungguhnya.