Olahraga, Kenyamanan, dan Cinta: Menekuni dengan Sepenuh Hati

ESAI NARATIF

N.R. Fadhli

9/24/2025

Pernah jatuh Cinta, atau minimal merasa nyaman dengan lawan jenismu?

Begitulah rasanya.. nyaman coy...!!

Rasa tersebut sama seperti sebelum seseorang mampu mencintai sebuah aktivitas, ia harus lebih dulu menemukan rasa nyaman di dalamnya. Kenyamanan adalah pintu awal yang menentukan apakah kita akan bertahan atau sekadar singgah, sama seperti saat menjalin persahabatan atau ketika jatuh hati pada seseorang. Tanpa kenyamanan, apa pun yang kita jalani akan terasa sebagai beban. Sebaliknya, jika rasa nyaman hadir, ia berubah menjadi ruang yang kita cari, kita rindukan, dan kita jalani dengan sepenuh hati. Coba bayangkan ketika kita bertemu teman baru, awalnya mungkin ada rasa canggung, ragu, bahkan asing. Namun, perlahan, jika terbangun rasa cocok, hati pun luluh dan hubungan itu tumbuh menjadi pertemanan yang erat. Demikian pula dengan cinta; ia tidak selalu lahir dari logika, melainkan dari perasaan tenang dan betah yang membuat kita ingin terus menetap. Prinsip yang sama berlaku dalam perjalanan hidup kita, segala hal yang dijalani karena keterpaksaan akan cepat padam, tetapi jika dimulai dengan kenyamanan, ia tumbuh menjadi kebiasaan yang setia dan melekat. Pada akhirnya, dengan rasa nyaman itulah kita bisa menekuni sebuah aktivitas sebagai bagian dari diri dan itulah yang menjadikan olahraga lebih dari sekadar rutinitas, melainkan sebuah cinta.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, olahraga sering kali dipandang sebagai sekadar kewajiban layaknya daftar tugas yang harus dituntaskan di antara padatnya aktivitas. Banyak orang berolahraga karena tren, sekadar mengikuti fear of missing out (FOMO), atau karena dorongan sesaat setelah melihat unggahan di media sosial. Namun, sebagaimana pertemanan dan cinta, olahraga bukanlah sekadar perkara ikut-ikutan atau pemenuhan kewajiban. Ia menuntut rasa nyaman, keterhubungan, dan keintiman batin. Tanpa itu semua, olahraga akan menjadi aktivitas sementara yang cepat ditinggalkan.

Olahraga memiliki sifat yang sama. Jika sejak awal kita merasa nyaman, entah karena aktivitasnya sesuai dengan kepribadian, lingkungan mendukung, atau saat tubuh menemukan ritmenya, maka olahraga menjadi bagian dari diri. Kenyamanan ini menjelma motivasi intrinsik, yang jauh lebih kuat daripada dorongan eksternal semata. Filosof Yunani, Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menyebut bahwa kebahagiaan tertinggi (eudaimonia) hadir ketika manusia melakukan aktivitas yang sejalan dengan kodratnya, bukan karena paksaan. Dengan demikian, menemukan kenyamanan dalam olahraga sejatinya adalah menemukan harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa.

Fenomena FOMO dalam olahraga sering terlihat saat tren baru muncul: yoga challenge, fun run, padel atau program kebugaran singkat yang viral. Orang berbondong-bondong ikut, namun setelah euforia mereda, semangat pun padam. Hal ini mirip dengan cinta sesaat yang hanya bertahan karena rasa kagum sementara, bukan karena ikatan mendalam.

Dalam kerangka filsafat eksistensial, Kierkegaard menekankan pentingnya “komitmen diri” dalam setiap pilihan hidup. Olahraga yang dilakukan karena FOMO ibarat relasi tanpa komitmen: ada ketertarikan, tetapi tidak ada keintiman. Sementara olahraga yang dijalani dengan kenyamanan adalah bentuk pilihan sadar, sebuah keputusan untuk merawat tubuh dan jiwa. Komitmen inilah yang menjadikan olahraga bagian dari eksistensi, bukan sekadar tren musiman.

Dalam perspektif lainya, fenomenologi, Merleau-Ponty menegaskan bahwa manusia tidak sekadar “memiliki tubuh” tetapi “ada sebagai tubuh. Tubuh bukan instrumen, melainkan bagian dari eksistensi. Maka, olahraga bukan hanya aktivitas fisik, tetapi juga cara kita berdialog dengan keberadaan diri. Saat berolahraga dengan sepenuh hati, kita sedang menjalin relasi yang sehat antara tubuh dan jiwa.

Analogi ini mirip dengan pertemanan yang sejati: bukan hanya hadir di momen-momen seru, tetapi juga menemani dalam kesunyian. Olahraga yang ditekuni secara nyaman menumbuhkan kesetiaan pada tubuh, memberinya ruang untuk bergerak, bernapas, dan berkembang, sebagaimana kita setia merawat hubungan dalam cinta yang tulus.

Sering kali orang terjebak pada ambisi: ingin cepat langsing, ingin otot terbentuk, atau ingin segera terlihat bugar. Padahal, sebagaimana dalam hubungan, proseslah yang utama. Tidak ada cinta yang tumbuh dalam semalam, tidak ada pertemanan yang langsung akrab tanpa waktu. Demikian pula dengan olahraga, hasil besar tidak akan datang tanpa kenyamanan awal.

Jika olahraga hanya dipahami sebagai kewajiban, ia akan habis bersama target yang telah dicapai. Namun, jika olahraga dipahami sebagai bentuk cinta pada diri sendiri, ia menjadi jalan hidup. Dengan tubuh yang sehat, pikiran jernih, dan jiwa tenang, kita dapat mengemban tugas hidup dengan lebih bijak. Olahraga yang dilakukan dengan rasa nyaman dan sepenuh hati menjadi bentuk praktik kebajikan itu. Ia bukan sekadar aktivitas, melainkan ritual keseharian yang membentuk karakter, disiplin, dan kesetiaan. Olahraga yang nyaman akan membawa seseorang pada keberlanjutan, sementara olahraga karena tren hanya melahirkan kelelahan.

Pada akhirnya, olahraga adalah cermin dari bagaimana kita menjalin relasi, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Jika pertemanan membutuhkan kenyamanan, jika cinta menuntut keintiman, maka olahraga pun demikian. Tidak perlu mencari yang paling tren atau paling menantang; yang terpenting adalah menemukan kenyamanan yang membuat hati ingin terus kembali. Olahraga yang lahir dari kenyamanan adalah olahraga yang dijalani dengan sepenuh hati. Dan ketika hati sudah terlibat, olahraga tidak lagi sekadar aktivitas, tetapi menjadi bagian dari hidup, layaknya seorang sahabat sejati atau cinta yang tak lekang oleh waktu.

Gambar: Active Movement Indonesia