Musim Hujan dan Rencana yang (Mungkin) Tidak Jadi

ESAI NARATIF

N.R. Fadhli

10/27/20252 min read

Illustrasi: Active Movement Indonesia

Sica punya ide yang tiba-tiba muncul di antara kesibukan meeting dan email tak berujung: naik gunung. Entah dari mana datangnya inspirasi itu, mungkin dari video reels bertema healing atau dari rasa bosan yang tak bisa diselesaikan dengan spreadsheet. Sica bukan sembarang perempuan. Ia lajang, cantik, dan punya perusahaan sendiri di bidang pendidikan. Hidupnya tertata rapi seperti kurikulum, semuanya terencana: jadwal olahraga, jadwal gym, jadwal pilates, bahkan jadwal “tidak membuka laptop” pun masuk agenda. Ia tipe yang punya lima to-do list untuk satu hari, dan anehnya, semua selesai. Tapi di balik keteraturan itu, ia menyimpan satu hal yang tidak bisa dijadwalkan: absurditas.

Suatu sore yang gerimis, ia tiba-tiba mengirim pesan ke seorang teman lama bernama Spock, pria dengan pemikiran aneh tapi jujur, yang entah kenapa selalu menjawab serius setiap kali diajak bercanda. “Spock, aku pengin naik gunung. Musim hujan kayaknya romantis ya buat pendakian?” tulis Sica. Pesan itu seperti undangan kecil menuju kekacauan yang terencana. Spock membalas dengan nada datar tapi filosofis, “Romantis, tapi juga licin. Alam itu bukan backdrop konten, Sica. Dia punya etika.” Jawaban itu malah membuat Sica tertarik. “Ya udah, ajak temen-temenmu biar rame. Sekalian kuliah lapangan etika lingkungan.”

Percakapan mereka pun berubah menjadi kelas filsafat dadakan di WhatsApp. Sica bicara tentang pentingnya keluar dari rutinitas, sedangkan Spock membalas dengan teori ekofenomenologi dan etika kebersamaan. Dalam satu titik, percakapan mereka terdengar seperti kombinasi antara chat absurd dan proposal kegiatan outdoor. “Kita harus saling bantu, jangan egois,” kata Sica, sambil menambahkan emoji daun dan tenda. “Setuju,” balas Spock, “pendakian itu laboratorium kerjasama.” Tidak ada yang tahu apakah ini benar-benar akan terjadi, tapi obrolan itu terasa seperti simulasi kehidupan, penuh semangat, penuh rencana, tapi belum tentu eksekusi.

Kalau dipikir-pikir, apa yang dilakukan Sica bukan sekadar rencana iseng. Di balik semua absurditasnya, terselip kebutuhan nyata: melawan stagnasi fisik akibat rutinitas kerja. Dalam teori Self-Determination yang dikembangkan oleh Deci dan Ryan (1985), manusia membutuhkan tiga kebutuhan psikologis dasar agar tetap sehat dan termotivasi: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Aktivitas fisik seperti naik gunung bisa memenuhi ketiganya. Saat mendaki, seseorang merasa bebas mengambil keputusan (otonomi), menantang kemampuan tubuhnya (kompetensi), dan membangun hubungan sosial yang hangat (keterhubungan). Barangkali, tanpa disadari, itulah yang dicari Sica di antara jadwal gym dan pilates-nya, sensasi hidup yang lebih spontan dan berantakan.

Sica sadar, tubuhnya kuat karena disiplin olahraga, tapi jiwanya mulai kaku karena semua terlalu terencana. Ia ingin merasakan lelah yang tidak diukur oleh smartwatch, keringat yang tidak muncul di ruangan ber-AC, dan napas yang tersengal bukan karena treadmill tapi karena tanah menanjak dan udara dingin. Ia ingin menukar kontrol dengan ketidakpastian. Di situlah absurditas menjadi bentuk perlawanan kecil terhadap rutinitas modern, karena kadang yang teratur justru membuat kita kehilangan rasa hidup.

Spock paham betul itu. Ia menulis, “Kamu tahu, Sica, naik gunung itu seperti hidup: kita capek, berhenti, lanjut lagi, lalu capek lagi. Tapi justru di situ kita sadar bahwa kebahagiaan bukan di puncak, tapi di setiap langkah yang absurd itu.” Sica hanya menjawab dengan emoji tertawa, tapi dalam hati ia tahu Spock benar.

Mungkin pendakian mereka tak pernah benar-benar terjadi. Tapi percakapan itu cukup untuk membuat Sica menutup laptop lebih awal malam itu. Ia menatap keluar jendela, hujan turun pelan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia membiarkan pikirannya kosong, tanpa rencana, tanpa target, tanpa jadwal.

Dan mungkin di situlah puncak yang sebenarnya: saat seseorang yang terlalu sibuk akhirnya berhenti menghitung produktivitas dan mulai mendengarkan dirinya sendiri.