Lapangan yang Tak Pernah Kosong: Cerita dari Pinggir Lapangan Futsal

ESAI NARATIF

N.R. Fadhli

5/17/20253 min read

Setiap Sabtu pagi, saya mengantar anak saya paling bengal latihan futsal di sebuah sekolah futsal khusus anak-anak. Tapi seperti sudah jadi pola alam semesta, lapangan utama dan paling luas di tempat latihan itu hampir selalu digunakan untuk event futsal. Bukan kompetisi besar, tapi turnamen mingguan antar sekolah futsal yang pesertanya... ya itu-itu lagi. Wajahnya sama, seragamnya sama, cat rambut para pemainya, bahkan gaya selebrasinya pun tidak banyak berubah sejak beberapa bulan lalu.

Saya sempat bertanya dalam hati, “Apakah ini kalender kompetisi atau looping abadi seperti siaran ulang di TV kabel? Atau mungkinkah ini merupakan agenda mingguan seperti pengajian emak-emak warga kompleks? Saya ga tahu siapa penyelenggaranya, apakah asosiasi resmi, ataukah EO Futsal, atau himpunan mahasiswa, yang jelas wasitnya berseragam resmi. Dan saya pikir ini ga hanya terjadi dilapangan latihan anak saya, tapi juga terjadi diberbagai belahan dunia Indonesia yang kita cintai bersama.

Sebenarnya yang lebih menarik buat saya karena saya kebetulan setaip saat berkecimpung didunia pendidikan kepelatihan olahraga adalah para pelatih yang seharusnya memahami prinsip-prinsip sport science, periodisasi latihan, pembinaan jangka panjang, pencegahan cedera, justru tampak sangat menikmati situasi ini. Bahkan ada pelatih yang dengan bangga memamerkan bahwa tim sekolahnya (SMP) ikut 5 turnamen dalam 2 bulan terakhir. “Bagus untuk mental bertanding,” katanya. Tapi tak satu pun dari anak-anak itu sempat istirahat yang layak, atau punya waktu untuk sekadar belajar teknik dasar passing yang benar.
Kepala sekolah pun tak kalah antusias. Kebetulan ketemu teman lapa yang dulu sering ngopi bareng yang sudah jadi kepala sekolah dengan jalur guru penggerak. Dengan semangat dia mengatakan "Bagus untuk promosi sekolah, kalau juara ini bisa menambah antusiasme calon siswa untuk daftar di sekolah saya" katanya suatu waktu saat saya sempat bertanya tentang intensitas kegiatan. Tampaknya, selama anak-anak muncul di media sosial dengan piala dan medali, semua dianggap beres. Tak peduli apakah mereka kelelahan, overload, atau bahkan kehilangan motivasi karena kejenuhan kompetitif.

Guru olahraga yang juga merangkap sebagai pelatih-nya yang saya kira akan menjadi benteng terakhir pendidikan jasmani, justru tampak paling semangat. "Ini bentuk pembelajaran kontekstual, sesuai materi PPG dan Guru penggerak kemaren di hotel" ujarnya. "Mereka belajar langsung lewat kompetisi." “Uhuiiiiii,,,” pekik saya pelan bgt dalam hati. Saya ingin bertanya, apakah kompetisi setiap pekan itu masih "pembelajaran", atau sudah menjadi bentuk eksploitasi terselubung dalam nama edukasi?

Saya sempat melihat seorang anak dari tim lain muntah di pinggir lapangan setelah bermain dua kali berturut-turut, walaupun ada jeda sebentar sih. Pelatihnya hanya menyuruhnya cuci muka, minum teh hangat dalam tumbler plastik yang mengandung Bisphenol A, lalu bersiap untuk semifinal. Anak itu kalah, lalu mengembik meneteskan air mata, menangis. Tapi bukan karena kalah, melainkan karena betis kurusnya keram dan ia tetap dipaksa bermain, karena dianggap diap paling full skill layaknya Falcao. Saya juga pernah melihat seorang anak kelas 4 SD dipaksa main karena "tim kurang pemain". Orang tuanya-pun bangga dengan men-suport dari pinggir lapangan sambil bergelantungan di jaring pembatas sambil meneriaki “semangat, tackling, pepet terus”. Yang jelas ini bentuk suporting yang sangat lucu dan menggelitik.

Dari perspektif sport science, jelas ini melanggar banyak prinsip. Kompetisi terus-menerus tanpa jeda bisa menyebabkan kelelahan mental dan fisik, meningkatkan risiko cedera, dan mengganggu proses adaptasi tubuh terhadap latihan. Anak-anak ini bukan atlet liga premier Inggris yang seminggu bisa bermain tiga kali, tapi sedang tumbuh. Mereka butuh waktu belajar, berkembang, dan istirahat.
Dari sisi pendidikan, ini lebih menyedihkan lagi. Nilai-nilai fair play, sportivitas, kerja sama, seolah tenggelam dalam euforia "menang-menangan". Turnamen bukan lagi arena belajar, tapi panggung pencitraan. Kompetisi dijadikan ajang dokumentasi untuk media sosial, bukan proses reflektif untuk perkembangan karakter anak. Bahkan terahir ada kasus pengeroyokan kepada pelatih lawan dari para pemain, muiriiiissssss sekali kalau kata orang jawa, cek berita di google. (malas citasi, bukan artikel ilmiah).

Saya bukannya anti turnamen. Kompetisi adalah bagian penting dari pembinaan. Tapi tanpa kontrol, tanpa desain jangka panjang, dan tanpa refleksi, semua ini hanya akan menjadi rutinitas kosong. Kalender event seperti disusun bukan untuk anak, tapi untuk kepentingan dewasa, entah itu pelatih, sekolah, sponsor, atau panitia yang menjual formulir pendaftaran dan tiket penonton.

Kini, saya hanya bisa duduk di pinggir lapangan, melihat skor naik-turun, anak-anak menang dan kalah, tapi tak pernah benar-benar belajar. Mereka sedang "ditempa", tapi mungkin bukan untuk jadi pemain hebat, melainkan hanya “agar tampak hebat” di foto, di spanduk, di feed media sosial. Masih ingin bermain, belajar, dan tertawa, bukan hanya bertanding dan mengejar piala yang tak ada tempatnya lagi di lemari lorong sekolah

Filsuf Prancis, Michel Foucault, pernah menyatakan bahwa “tubuh manusia adalah medan kekuasaan” dan di sinilah kita melihatnya bekerja: tubuh anak-anak dibentuk, dikendalikan, dan dieksploitasi atas nama prestasi dan kebanggaan institusi. Mereka dilatih bukan untuk menjadi sehat dan berkembang, tapi untuk tampil dan menang. Tubuh bukan lagi subjek pembelajaran, melainkan objek produksi: dicetak, dipoles, dan dijual dalam bentuk piala dan unggahan Instagram. Sebuah praktik yang terlihat indah di permukaan, namun menyimpan ketidakadilan mendalam terhadap hak anak atas pertumbuhan yang wajar dan manusiawi.

Saya hanya bisa duduk di pinggir lapangan, mengamati semua ini dengan segelas kopi sachet dan sedikit kegelisahan. Mungkin nanti Kalau begini terus, jangan-jangan nanti ada turnamen futsal untuk orang tua yang sering nganter anak tiap minggu.

Sumber: Active Movement Indonesia