Inklusi: Antara Buku Panduan dan Gerbang Sekolah

OPINI

Lutfil Amin

6/12/2025

Mendengar kata inklusif...
Membaca kata inklusif...
Atau melihat teks inklusif...
Apa yang ada dibenak anda?
Secara teori Inklusif adalah pendekatan yang mempertimbangkan berbagai perspektif dan pengetahuan dalam memahami dunia. Ini mencakup: Pengakuan terhadap keragaman pengetahuan, Penghargaan terhadap perbedaan dan Kritik terhadap dominasi pengetahuan.

Dalam konteks pendidikan, inklusivitas dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan mendukung untuk semua siswa, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan perspektif yang beragam.

(Audrey Osler) seorang ahli pendidikan, dalam bukunya Human Rights and Schooling (2016), menekankan pentingnya pendidikan inklusif yang menghormati keragaman budaya, etnis, dan kemampuan siswa. Ia berpendapat bahwa inklusi di sekolah bukan hanya tentang kehadiran fisik siswa dari berbagai latar belakang, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan di mana setiap siswa merasa dihargai dan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.

Sebagai guru PJOK di sekolah berkebutuhan khusus, ini memantik saya untuk mempertanyakan diri sendiri, sudah inklusif kah saya???

Kalau saya yang menjawab tentu tidak obyektif, pun ketika murid saya ditanya, karena keterbatasan mengekspresikan rasa.

Untuk hal ini saya mohon maaf kalau ada murid yang belum terfasilitasi dengan baik kebutuhan belajarnya.

Pertanyaannya,

Bagaimana menjadi guru PJOK yang inklusif? Tinggal tanya Meta, Grok atau ChatGPT.
Yang penting adalah bagaimana memahami prinsip inklusifitas. Prinsip utama pendidikan inklusif yang perlu dipahami meliputi, kesetaraan akses, keterlibatan dan partisipasi, pendekatan individual, keterlibatan pemangku kepentingan.

Guru harus terus memupuk keinginan belajar sepanjang hayat, termasuk belajar kepada murid.
Guru harus menumbuhkan kemampuan kolaborasi termasuk kepada suara suara yang jarang didengar.

Suatu hari, saya janjian ngopi dengan teman kuliah yang sudah jadi kepala sekolah, kebetulan sedang mengadakan acara studi banding siswa (disebuah kebun binatang modern), kami ketemu di warung kopi, mengobrol santai layaknya orang asing yang seakan baru kenal.

"Eh, kamu ngajar di sekolah kebutuhan khusus ya?" tanyanya sambil menyeruput kopi.
Saya mengangguk.
"Wah, pasti sekarang jadi sabar banget ya kamu."
Saya tertawa kecil, lalu menjawab, "Ah, sabar saya belum ada apa-apanya dibanding bapak-bapak yang setia nungguin anaknya pulang sekolah naik motor tua, kehujanan, tapi tetap senyum lebar waktu anaknya lari dari gerbang. Itu baru sabar tingkat dewa."
Dia ikut tertawa sembari menunjukkan ampas kopi yang nyangkut di sela gigi.

Tak lama kemudian, dia bertanya lagi,
"Ngajar di sana pasti susah ya? Apalagi ngatur anak-anak dengan kebutuhan yang beda-beda."
Saya mengangkat bahu, "Ngatur anak-anak sih bisa dicari caranya... yang susah tuh justru ngatur dan mendidik diri sendiri. Bikin RPP aja kadang lebih fokus ke checklist daripada ke anaknya."
Dia tertawa, sambil mengangguk pelan.

Saya menambahkan, "Kadang lucu juga, aturan tentang inklusi dibuat dengan kalimat-kalimat yang indah, tapi lupa menyediakan kursi yang cukup untuk semua anak duduk nyaman."
Sambil merubah posisi duduk saya nyerocos menambahkan “ah tidak kok,yang susah itu mengenal dan mendidik diri sendiri, di sambut tertawa lepas memperlihatkan gigi yang mulai tidak lengkap. Saya menambahkan, "Kadang lucu juga, aturan tentang inklusi dibuat dengan kalimat-kalimat yang puitis, tapi lupa menyediakan kursi yang cukup untuk semua anak duduk nyaman."
Dia nyeletuk, "Itu kalau kursinya ada..."
Saya balas, "Betul. Kadang kurikulumnya inklusif, tapi ruang kelasnya nggak cukup untuk kursi roda lewat. Kadang kurikulumnya inklusif, tapi pintu kelasnya tidak cukup untuk kursi roda lewat." hhmmm andai saja warung 24 jam menjual pintu kebijakan"

Kami tertawa lagi, tapi kali ini agak kecut.
"Inklusi sering jadi kata wajib di proposal, tapi tetap asing di ruang guru," kata saya.
"Apalagi kalau rapat. Yang dibahas tetap ranking dan hasil lomba. Partisipasi dan proses? Bonus, kalau sempat."

Hening sejenak.

Lalu saya nyerobot sebelum dia menimpali, "Tapi ya begitulah. Kita jalani aja. Yang penting, tiap anak tetap dapat ruang untuk tumbuh. Meskipun kecil. Meskipun cuma kita yang lihat."

Terus Bagaimana menjadi guru PJOK yang inklusif?

Salah tujunya antara lain Pahami Prinsip Inklusivitas, Tingkatkan Kompetensi Melalui Pelatihan, Modifikasi Kurikulum dan Kegiatan, Gunakan Gaya Mengajar Inklusif.

Kolaborasi dengan Orang Tua dan Komunitas, Fokus pada Partisipasi, Bukan Kompetisi dan Ciptakan Lingkungan yang Aman dan Mendukung

Karena pendidikan bukan jalan lurus, dengan garis finish yang sama.

Ia adalah pohon bercabang dan beranting, tempat setiap anak punya cahaya sendiri

meski kecil, redup, dan nyaris padam.

Jangan biarkan aturan menjadi kawat berduri, bagi mereka yang berbeda langkah.

Aturlah agar semua bisa berjalan, dengan cara mereka sendiri.

Dengan hormat, bukan belas kasih.

Regulasi bukan cambuk.

Ia bisa jadi tempat berteduh bahkan pelukan bila dibuat dengan hati bukan hanya tinta dan tanda tangan sunyi di kertas yang sepi.

Serius amat membacanya, membaca ini tidak perlu seserius memikirkan peluang indonesia lolos ke piala dunia mendatang. hehehe…