
Guru: Penjaga Terakhir Sebelum Anak Kita Jadi Primata
OPINI
N.R. Fadhli
11/25/20255 min read


Ketika memasuki Hari Guru tahun ini, saya tertegun membaca sebuah pernyataan dari ahli bedah saraf dan akademisi Ryu Hasan. Dalam sebuah wawancara yang banyak dibicarakan publik, ia mengatakan bahwa jika skor IQ manusia Indonesia turun delapan poin lagi, maka kemampuan kognitif kita akan mirip dengan gorila. Pernyataan ini terdengar ekstrem dan bikin nyengir, tetapi justru itulah kekuatan kalimatnya—ia menggugah kesadaran kita tentang pentingnya kualitas pendidikan dan perkembangan otak anak sejak dini. Ketika saya membaca kembali angka rata-rata IQ anak Indonesia yang disebut oleh Tempo, yaitu 78,49, saya tiba-tiba merasa bahwa pernyataan tersebut bukan sekadar hiperbola ilmiah, melainkan peringatan serius bahwa kita sedang berada pada titik kritis. Sumber Tempo menyebut data itu secara jelas dalam artikelnya yang terbit ada 13 November 2024, Fakta ini juga diperkuat dengan pembahasan dari The Global Review mengenai stigma skor IQ bangsa.
Ketika melihat angka tersebut, saya tidak langsung memikirkan kelemahan anak Indonesia. Yang saya pikirkan adalah beban yang dipikul para guru di seluruh negeri. Guru bukan hanya pengajar mata pelajaran, tetapi juga pembentuk cara berpikir, cara merasakan, cara merespons dunia. Pada Hari Guru ini, saya merasakan dorongan untuk merenungkan ulang peran besar mereka, terutama dalam konteks rendahnya rata-rata IQ yang berkaitan erat dengan lingkungan pendidikan, gizi, stimulasi kognitif, dan suasana belajar. IQ bukanlah nasib akhir; angka itu lebih menggambarkan kondisi yang membentuk anak-anak kita sehari-hari. Guru menjadi salah satu faktor utama dalam kondisi itu. Jika lingkungan belajar memberikan rangsangan yang cukup, penuh interaksi yang bermakna, serta dinamika yang menantang pikiran dan tubuh, maka skor IQ bisa berkembang. Jadi, mendengar angka “78,49” bukanlah titik akhir, melainkan panggilan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Dari renungan absurd ini, saya kemudian teringat bahwa pendidikan bukan hanya urusan guru kelas atau guru mata pelajaran akademik saja. Ada satu profesi yang sering dianggap pinggiran padahal perannya luar biasa penting: guru olahraga, atau guru PJOK. iya, guru PJOK, mengapa ini terlintas dalam benak saya, karena saya adalah dosen yang menghasilkan guru PJOK. Banyak orang mungkin mengira guru olahraga hanya bertugas memimpin pemanasan, mengatur lari keliling lapangan, atau mengajarkan teknik dasar permainan bola. Tapi jika kita melihat hasil penelitian dan pengalaman lapangan, peran guru olahraga jauh lebih dalam dan berkaitan langsung dengan kemampuan kognitif siswa. Salah satu artikel di jurnal pendidikan olahraga menggambarkan bagaimana guru PJOK membentuk kedisiplinan, kecerdasan sosial, kemampuan kerja sama, dan kesehatan fisik siswa. Hal-hal seperti disiplin, konsistensi latihan, kerja tim, hingga kemampuan mengelola emosi ternyata berkaitan erat dengan kesehatan otak, proses belajar, dan kemampuan berpikir.
Ketika saya merenungkan peran guru olahraga dalam konteks skor IQ yang rendah, saya merasa bahwa pendidikan jasmani sebenarnya adalah bagian dari solusi. Olahraga memiliki hubungan langsung dengan fungsi otak. Aktivitas fisik meningkatkan aliran darah ke otak, membantu pembentukan koneksi saraf baru, serta meningkatkan hormon-hormon yang berperan dalam proses belajar. Saya masih ingat ketika dulu di sekolah, guru olahraga sering dianggap “guru santai”, tetapi dalam kenyataannya justru beliaulah yang membuat suasana sekolah terasa hidup. Tanpa pelajaran olahraga, sekolah akan menjadi tempat yang terlalu banyak duduk, terlalu banyak diam, dan terlalu sedikit bergerak. Padahal anak-anak butuh bergerak untuk berpikir lebih baik. Dalam refleksi saya, guru olahraga berperan sebagai penjaga vitalitas otak anak-anak Indonesia.
Saya teringat bagaimana perasaan saya ketika mengikuti pelajaran olahraga dulu. Ketika pelajaran matematika membuat kepala terasa penuh, pelajaran olahraga justru memberi ruang bernapas. Namun bukan hanya itu, guru olahraga saya adalah orang yang selalu memulai kelas dengan kalimat, “Yang penting kamu berani mencoba.” Kalimat sederhana ini ternyata membentuk sikap mental yang penting: keberanian menghadapi tantangan. Ketika kami kalah dalam pertandingan, guru olahraga yang menenangkan kami. Ketika kami malas bergerak, dialah yang mendorong kami. Dari olahraga, saya belajar bahwa kekuatan mental tidak hanya muncul dari buku pelajaran, tetapi juga dari keringat yang jatuh di lapangan. Saat saya dewasa, saya baru memahami bahwa karakter seperti ketangguhan, konsistensi, dan disiplin yang saya miliki sekarang justru banyak terbentuk dari momen-momen itu.
Dalam konteks angka IQ yang berada di bawah rata-rata dunia, saya melihat hubungan yang semakin jelas. Anak-anak yang sehat secara fisik memiliki kapasitas belajar yang lebih baik. Anak-anak yang terbiasa bergerak lebih mudah fokus, lebih stabil emosinya, dan lebih siap menerima pelajaran akademik. Ini berarti peran guru olahraga tidak bisa diremehkan. Mereka bukan hanya mengajar lari atau memukul bola; mereka membantu membangun pondasi biologis dan psikologis yang mempengaruhi perkembangan intelektual. Ketika kita membayangkan bagaimana meningkatkan skor IQ anak Indonesia di masa depan, kita harus melihat bahwa olahraga bukan pelengkap, tetapi salah satu pilar penting.
Saya juga teringat percakapan dengan seorang teman yang berprofesi sebagai guru PJOK. Ia mengatakan bahwa sering kali dirinya dipandang sebelah mata dibanding guru mata pelajaran lain. Namun ia melihat perubahan nyata pada murid-muridnya: anak yang awalnya pemalu, menjadi percaya diri; anak yang awalnya agresif, menjadi lebih teratur; anak yang awalnya sulit fokus, menjadi lebih disiplin. Mendengarnya, saya semakin yakin bahwa pembentukan kecerdasan manusia—bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosional dan sosial—sangat terkait dengan pendidikan jasmani.
Hari Guru kali ini, saya merasa kita perlu mengambil jeda untuk memikirkan bagaimana para guru kita bisa difasilitasi lebih baik. Tantangan pendidikan ke depan sangat kompleks, apalagi ketika kita melihat data IQ yang cukup rendah. Namun kita tidak boleh berhenti pada keprihatinan. Kita perlu memberikan dukungan penuh kepada guru, termasuk guru olahraga. Mereka perlu ruang yang layak untuk mengajar, fasilitas yang memadai, dan pengakuan bahwa pekerjaan mereka adalah bagian dari pembangunan kecerdasan bangsa. Saya juga berharap orang tua menyadari pentingnya aktivitas fisik di rumah. Ketika anak hanya diberi gawai dan layar, potensi kognitif mereka tidak akan berkembang optimal. Olahraga, permainan fisik, dan kebiasaan hidup sehat harus menjadi bagian dari pola asuh keluarga.
Dalam refleksi panjang ini, saya menyimpulkan bahwa IQ bukan segalanya, tetapi merupakan salah satu indikator penting kondisi pendidikan dan perkembangan anak. Jika rata-rata IQ Indonesia rendah, itu bukan menyalahkan anak-anak, melainkan memandang ulang seluruh ekosistem pendidikan. Guru—baik guru akademik maupun guru olahraga—adalah bagian utama dari ekosistem itu. Ketika kita menghormati guru pada Hari Guru, kita juga menegaskan komitmen untuk menghormati masa depan anak-anak Indonesia. Guru olahraga pun harus mendapat tempat terhormat dalam penghargaan ini, karena melalui aktivitas fisik, mereka membantu mengembangkan bukan hanya tubuh, tetapi juga pikiran dan karakter.
Maka, jika kita tidak ingin peringatan Ryu Hasan menjadi kenyataan—bahwa manusia bisa turun delapan poin IQ lagi dan mendekati kemampuan gorila—maka tindakan kita harus dimulai dari sekarang. Kita harus memperkuat pendidikan, mulai dari ruang kelas hingga lapangan olahraga. Kita harus menghargai guru, termasuk guru olahraga, bukan hanya dengan ucapan terima kasih, tetapi juga dengan menyediakan dukungan nyata. Karena di tangan mereka, anak-anak Indonesia sedang ditempa bukan hanya menjadi cerdas, tetapi juga kuat, berani, dan berkarakter. Dan di situlah harapan masa depan bangsa ini bertumpu.
Sebagai penutup, pada Hari Guru Nasional ini saya ingin menyampaikan penghargaan sedalam-dalamnya kepada seluruh guru di Indonesia—mereka yang setiap hari berjuang dalam keterbatasan, tetapi tetap menyalakan cahaya belajar di ruang-ruang kelas dan lapangan sekolah. Saya berharap pemerintah semakin serius memperhatikan kesejahteraan guru, tidak hanya melalui kata-kata apresiasi, tetapi melalui kebijakan konkret yang meningkatkan keamanan pekerjaan, penghasilan yang layak, serta akses pengembangan profesional berkelanjutan. Saya juga berharap kampus-kampus yang melahirkan calon guru tidak terjebak dalam obsesi pemeringkatan yang pragmatis, tetapi menempatkan kualitas, integritas akademik, dan pembentukan karakter pendidik sebagai prioritas utama. Karena masa depan pendidikan Indonesia tidak hanya bergantung pada skor-skor statistik, tetapi pada manusia-manusia pendidik yang berdiri tegak di belakangnya—mereka yang mencintai profesinya dan percaya bahwa setiap anak Indonesia berhak tumbuh menjadi versi terbaik dirinya. Selamat Hari Guru Nasional. Semoga cahaya pendidikan tidak pernah padam, dan semoga para guru tetap menjadi pelita yang menerangi masa depan bangsa.
Daftar Rujukan:
https://www.tempo.co/gaya-hidup/berapa-rata-rata-iq-orang-indonesia-ini-penjelasannya-1167683
https://theglobal-review.com/membaca-stigma-skor-78-bagi-rata-rata-iq-bangsa-indonesia/
Batiurat, W., Tomas, S. K., & Kelbulan, E. (2024). Peran penting guru olahraga dalam pendidikan karakter di sekolah. Multilateral: Jurnal Pendidikan Jasmani dan Olahraga, 23(4), 264-269.
Ilustrasi: Active Movement Indonesia
OUR ADDRESS
Perum Pondok Bestari Indah, Blk. B1 No.49B, Dusun Klandungan, Landungsari, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65151
CONTACT US
WORKING HOURS
Monday - Friday
9:00 - 18:00
