
Gol di Menit Akhir: Tentang Olahraga, Talent Scouting, dan Nikmatnya Jatuh Cinta Lagi
ESAI NARATIF
N. R. Fadhil
9/30/20255 min read


Sore itu, langit kota masih menyisakan aroma hujan, sangat khas, aroma yang mudah memicu ingatan akan masa kecil, hujan pertama, atau suasana kampung halaman. Lapangan sepak bola yang biasa dipakai latihan klub daerah tampak becek di beberapa titik, rumputnya basah dan tak rata. Bau tanah bercampur dengan keringat anak-anak yang tengah berlari kecil di atasnya. Dari pengeras suara terdengar nama-nama dipanggil, satu per satu, sementara orang tua berdesakan di pinggir lapangan, wajah mereka penuh harap sekaligus cemas. Mungkin lebih tepatnya wajah ambisius.
Aku duduk di bangku panjang, berusaha mengikuti suasana itu. Anak-anak itu berlari, melompat, menendang bola dengan kaki kecil mereka, berharap dapat menarik perhatian pelatih. Di sebelahku duduk Gatot Prawiro, seorang teman lama. Dahulu ia pemain voli universitas, kini rambutnya mulai dipenuhi uban halus, tapi sangat banyak. Ia menatap lapangan dengan tatapan getir. Anaknya dipaksa sang ibu untuk ikut seleksi.
“Lihat anak itu,” katanya sambil menunjuk seorang bocah jangkung yang kikuk saat menendang bola. “Aku bisa tebak, dia akan dipilih. Bukan karena jago, tapi karena tingginya.”
Aku menoleh. Bocah itu tampak canggung, bolanya sering terlepas dari kendali. Namun benar, tinggi badannya menonjol dibandingkan yang lain.
“Scouting itu seperti jatuh cinta pada pandangan pertama,” jawabku pelan. “Orang sering terjebak pada yang tampak menonjol, padahal yang paling sejati sering tersembunyi.”
Prawiro tertawa pendek, getir. “Mirip kisah cinta orang tua kita dulu. Banyak yang menikah bukan karena cinta, tapi karena keadaan. Aku juga begitu, dulu terjebak di voli karena tinggi badanku. Bukan karena hatiku ada di sana."
Aku memandangnya lebih lama, dengan pandangan penuh ejek. Kalimat itu terdengar seperti roman lama yang belum selesai. Ia menikah dengan olahraga yang bukan cintanya, bertahun-tahun berusaha setia, tapi hatinya tetap merindu yang lain.
.
Kesalahan dalam talent scouting memang kerap terjadi. Anak-anak dipaksa masuk jalur yang bukan miliknya. Mereka diarahkan ke voli karena tinggi, ke bulutangkis karena klubnya populer, ke sepak bola karena dianggap menjanjikan masa depan. Seperti pernikahan yang diatur keluarga, cinta tidak pernah benar-benar diminta hadir. Mereka tumbuh besar dengan rutinitas latihan, setia pada cabang olahraga itu, tapi hatinya berbisik lirih “Andai aku diberi kesempatan memilih."
Prawiro menghela napas panjang. “Kau tahu rasanya menjalani sesuatu bertahun-tahun, tapi hatimu tidak pernah ada di sana? Rasanya seperti bangun tiap pagi, menyapa pasangan yang sama, tapi tak pernah benar-benar jatuh cinta.”
Aku terdiam. Kata-katanya mengingatkanku bahwa olahraga, layaknya cinta, bisa salah alamat. Talent scouting yang salah ibarat perjodohan paksa: sering terlihat ideal dari luar, tapi kering di dalam.
.
.
Tapi hidup selalu punya caranya sendiri. Bertahun-tahun setelah percakapan itu, aku bertemu Prawiro lagi. Kali ini bukan di lapangan voli atau di acara kampus, melainkan di sebuah lapangan sepak bola komunitas guru olahraga di pinggir kota. Lapangan itu sederhana, garis kapurnya setengah pudar karena metode pembuatan menggunakan “galengan”, gawangnya sudah berkarat penuh stiker one piece, tapi dipenuhi tawa orang-orang dewasa (mungkin lebih tepat “tua”). Ada mantan pemain basket, pelatih bulutangkis, eks-atlet voli, pelatih beladiri bahkan beberapa pekerja kantoran yang datang hanya untuk berkeringat.
Aku melihat Prawiro di sana, berlari mengejar bola dengan wajah riang. Rambut hitam siluet putihnya yang basah, keringatnya menetes deras, tapi ekspresi di wajahnya berbeda. Ada cahaya yang dulu tak pernah kutemukan saat ia bercerita tentang voli. Ia terlihat… jatuh cinta.
Seusai pertandingan, kami duduk di pinggir lapangan. Sambil menyesap kopi dari panitia Fun Football. Napasnya masih terengah, tapi matanya berbinar.
“Dulu aku main voli karena disuruh,” katanya sambil meneguk air mineral.
“Aku bertahan bertahun-tahun, mencoba mencintainya. Tapi main bola seperti ini… rasanya seperti jatuh cinta lagi. Bedanya, kali ini aku memilih sendiri.”
Mirip bait kedua lagu pemain bola yang gagal bersinar. Nyoman Paul.
“Kau Datang tak Kuduga, Beri aku Tawa."
"Bahagia Hariku, Kaubuat Sempurna”
Aku tersenyum. Kalimat itu sederhana, tapi mengandung kebahagiaan yang dalam. Jatuh cinta lagi, setelah sekian lama hidup dalam keterpaksaan. Ada kenikmatan yang sulit dijelaskan, sebuah kebebasan yang baru ia rasakan.
.
Dalam ilmu yang saat ini saya geluti, para ilmuwan olahraga menyebut kegagalan talent scouting sebagai akibat seleksi yang terlalu dini, bias pada fisik, dan minim monitoring jangka panjang (Vaeyens et al., 2008). Namun bagi mereka yang menjalaninya, kegagalan itu bukan sekadar data, melainkan luka personal. Anak-anak diarahkan ke jalur tertentu, mereka berlatih keras, kadang berprestasi, tapi di dalam hati ada sesuatu yang hilang.
Namun cinta memiliki rahasia. Ia bisa muncul kapan saja, bahkan setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Sama seperti seseorang yang lama hidup dalam pernikahan hambar, lalu tiba-tiba, tanpa rencana, menemukan seseorang yang membuat jantungnya berdebar lagi. Itulah yang kurasakan saat melihat Prawiro dan teman-temannya bermain bola.
“Lucu ya,” kataku pada Prawiro, “kau bisa jatuh cinta lagi di usia seperti ini.”
Ia tertawa lepas. “Cinta itu tidak mengenal usia. Dulu aku pikir aku sudah kehilangan perasaan itu, tapi ternyata tidak. Mungkin dulu aku menikah dengan voli, tapi sepak bola membuatku merasa muda kembali. Ini seperti cinta kedua yang lebih tulus.”
Aku mendengarkan kata-katanya dengan hati hangat. Betapa indahnya jatuh cinta lagi setelah lama kehilangan rasa.
.
Komunitas sepak bola itu bagi mereka bukan sekadar tempat berolahraga, melainkan ruang rekonsiliasi dengan diri sendiri. Mereka yang dulu salah jalan kini menemukan rumah baru. Tak ada seleksi, tak ada statistik, tak ada kontrak. Hanya lapangan sederhana, bola yang bergulir, dan tawa yang tulus.
Aku ingat obrolan santai dengan teman-teman guru PJOK di pinggir lapangan suatu Minggu pagi, mereka dulunya atlet dari berbagai cabang olahraga yang “mungkin” terpaksa mengambil jurusan keguruan olahraga karena “dianggap” tidak perlu mikir.
Seorang mantan pemain basket nyeletuk, “Aku dulu merasa basket adalah satu-satunya jalan. Tapi begitu aku coba bola, aku sadar ternyata aku bisa tertawa lebih lepas. Seorang pelatih bulutangkis menimpali, “Aku juga merasa seperti remaja lagi. Bola ini, meskipun berat dan bikin ngos-ngosan, justru membuatku merasa hidup”.
Mereka tertawa bersama, saling bercanda, saling menyemangati. Dari kejauhan, suasana itu lebih mirip pesta kecil daripada pertandingan. Dan aku sadar, cinta memang bisa datang tiba-tiba, bahkan di tempat yang sederhana seperti lapangan becek itu.
.
Nikmatnya jatuh cinta lagi bukan hanya soal olahraga, tapi soal rasa. Prawiro yang dulu kukenal sebagai pemain voli yang dingin, kini seperti berubah menjadi anak kecil yang menemukan mainan baru. Senyumnya lebih hangat, tawanya lebih tulus. Ia tidak lagi terikat pada kewajiban, melainkan mengikuti suara hatinya.
Dalam hidup, banyak orang tua berambisi menjadikan anak atlet sesuai kehendak mereka. Mereka lupa, cinta tidak bisa dipaksakan. Untuk semua orang tua, jangan memaksa anak menjalani olahraga yang bukan pilihannya. Biarkan mereka mencoba, merasakan, dan menemukan cinta sejatinya sendiri. Karena hanya cinta yang lahir dari hati yang akan bertahan lama.
Dalam kepalaku tercetus sebuah pertanyaan “bukankah inilah esensi sejati dari olahraga dan cinta? Bahwa keduanya tidak bisa dipaksakan, bahwa keduanya hanya bermakna jika dijalani dengan hati yang bebas. Dan jika pun kita salah jalan, selalu ada kemungkinan untuk jatuh cinta lagi”.
.
Setiap kali aku pulang dari lapangan itu, aku membawa pulang perasaan hangat. Melihat orang-orang dewasa yang tertawa riang mengejar bola, mantan atlet dari berbagai cabang yang akhirnya menemukan rumah barunya, aku sadar: kesalahan talent scouting bukan akhir dari segalanya. Masih ada ruang untuk mencintai lagi, bahkan di usia yang tak lagi muda.
Cinta yang datang lagi, tiba-tiba, memberi rasa yang lebih manis. Ia bukan sekadar debar remaja, melainkan kebahagiaan yang lahir dari kesadaran penuh. Nikmatnya jatuh cinta lagi terletak pada kontras: setelah lama kering, setiap tetes air terasa begitu menyegarkan. Setelah lama hampa, setiap tawa terasa begitu berharga.
Mungkin itulah sebabnya, Prawiro berkata padaku dengan mata berbinar “Aku merasa lebih hidup sekarang daripada saat muda dulu.”
Aku hanya bisa mengangguk. Dalam olahraga maupun cinta, jatuh cinta lagi adalah anugerah. Ia datang seperti gol di menit akhir, tak terduga, sering lahir dari kekacauan, tapi justru itulah yang membuat permainan terasa indah.
Daftar Bacaan
• Vaeyens, R., Lenoir, M., Williams, A. M., & Philippaerts, R. M. (2008). Talent identification and development programmes in sport. Sports Medicine, 38(9), 703–714.
• Côté, J., & Fraser-Thomas, J. (2007). Youth involvement in sport. In P. Crocker (Ed.), Introduction to sport psychology: A Canadian perspective (pp. 266–294). Toronto: Pearson.
Baca juga lainnya: Artikel
Gambar: Active Movement Indonesia
OUR ADDRESS
Perum Pondok Bestari Indah, Blk. B1 No.49B, Dusun Klandungan, Landungsari, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65151
CONTACT US
WORKING HOURS
Monday - Friday
9:00 - 18:00
