
Dosen-Dosen Bertanding, Saya Cuma Berkeringat
ESAI NARATIF
N.R. Fadhli
11/15/20253 min read


Ilustrasi: Active Movement Indonesia
Pulang dari LPTK Cup XXII di Unimed, saya masih merasakan hangatnya suasana yang sulit diceritakan hanya dengan kata “ramai”. Sebagai peserta tenis meja yang targetnya hanya dua, berkeringat dan menambah teman, saya tidak menyangka bahwa acara ini bisa memberi pengalaman emosional yang begitu kaya, walaupun sudah berkali-kali ikut dan terlibat. Bukan hanya bagi saya, tetapi juga bagi para dosen dan pejabat kampus dari seluruh Indonesia yang tiba-tiba menjadi atlet dadakan di berbagai cabang olahraga.
Sejak hari pertama, atmosfer di arena pertandingan sudah seperti gabungan antara reuni nasional, festival olahraga usia matang, dan pertemuan ilmiah tanpa paparan PowerPoint. Di lapangan tenis, saya melihat seorang dosen senior yang setiap berhasil memukul bola sambil sedikit memutar badan, langsung berteriak, “YES!” dengan kegembiraan seperti menemukan kembali masa muda yang sempat hilang. Ketika akhirnya kalah, ia menepuk dada sambil berkata, “Yang penting jantung masih kuat.” Semua orang tertawa, dan dalam tawa itu ada solidaritas yang tidak bisa didapat di ruang rapat.
Gedung bulutangkis juga penuh cerita. Dosen-dosen yang biasanya tampak elegan dalam rapat fakultas berubah menjadi pejuang lapangan yang mengejar shuttlecock seperti mengejar hibah penelitian tahap akhir. Ada pasangan ganda putra yang kalah dengan skor telak namun keluar dari lapangan sambil tertawa, “Sudah lama tidak merasakan tekanan seperti ini. Seru juga!” Ekspresi kecewa terlihat, tetapi lebih banyak rasa lega karena mereka menyadari: kalah pun tetap bahagia ketika semua dilakukan dengan hati yang ringan.
Arena tenis meja tempat saya bertanding pun tak kalah meriah. Ada dosen yang serve-nya selalu gagal masuk dan setiap kali itu terjadi dia memegangi kepalanya sambil tertawa: “Kayaknya meja kampus lebih besar dari ini.” Kami semua tertawa bersama, bahkan lawannya ikut memberi tepukan semangat. Saya sendiri kalah di salah satu pertandingan, tapi jujur saja, rasa senangnya tidak berkurang sedikit pun, karena saya sudah mendapatkan apa yang saya cari: keringat dan teman baru.
Puncak emosional terbesar saya temui di lapangan petanque, tempat kontingen UM kategori pejabat (eksekutif) bertanding. Sejak awal, target mereka jelas bukan juara, hanya hadir dan meramaikan. Tapi hasil berbeda muncul di lapangan. Satu demi satu pertandingan mereka menangkan. Para pejabat yang awalnya hanya berniat “lempar-lempar santai” tiba-tiba berubah fokus, tetapi tetap dengan gaya yang lucu dan hangat. Ada satu momen ketika lawan melempar boulenya dan jatuh menjauh dari bosi tim UM. Ia langsung melompat kecil sambil berteriak, “yeeeee!” dengan suara penuh kemenangan. Penonton tertawa, rekannya memeluknya, dan dari wajahnya terlihat kegembiraan murni yang jarang muncul di acara-acara resmi kampus.
Ketika mereka memasuki babak final, suasana menjadi dramatis. Ada pejabat yang menggigit bibir, ada yang jalan bolak-balik seperti sedang menunggu hasil akreditasi, dan ada juga yang komat-kamit entah mengatur strategi atau berdoa. Dan ketika lemparan terakhir memastikan kemenangan, saya menyaksikan sesuatu yang tidak saya duga: salah satu pemain meneteskan air mata. “Saya tidak pernah merasa menang seperti ini sejak muda,” katanya dengan suara serak. Kami semua menepuk bahu dan merayakan momen itu bersama.
Yang membuat saya terharu adalah bagaimana kegiatan ini memberi kesempatan bagi para pejabat kampus yang sebagian besar bukan insan olahraga untuk merasakan campur aduknya hati saat kalah dan menang. Mereka merasakan deg-degan, kecewa, senang, bangga, dan lelah dalam satu rangkaian yang sulit dijelaskan. Dan justru di situ letak keindahan olahraga: sebuah dunia kecil tempat manusia belajar kehilangan tanpa hancur, belajar menang tanpa arogan, belajar berusaha tanpa jaminan hasil.
Saya berharap para pejabat kampus yang merasakannya langsung bisa memahami bahwa olahraga bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan cara hidup. Dunia olahraga punya caranya sendiri untuk mengajarkan kesabaran, kerendahan hati, kebahagiaan sederhana, dan semangat terus bergerak. Nilai-nilai itu, kalau dibawa ke pengelolaan pendidikan, bisa menjadi kekuatan besar untuk membangun generasi yang lebih sehat secara tubuh, pikiran, dan karakter.
Saat perjalanan pulang, saya tersenyum. Tahun depan kalau ada LPTK Cup lagi, saya siap kembali. Target tetap sama: berkeringat dan kenal teman. Kalau menang? Itu nanti urusan keberuntungan saja. Yang penting, olahraga membuat kita semua -dosen, pejabat, siapa pun- merasa hidup.
OUR ADDRESS
Perum Pondok Bestari Indah, Blk. B1 No.49B, Dusun Klandungan, Landungsari, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65151
CONTACT US
WORKING HOURS
Monday - Friday
9:00 - 18:00
