
Couple Goals, Keringat, dan Ilusi Medsos
ESAI NARATIF
N.R. Fadhli
10/3/20254 min read


Sabtu pagi itu, langit kota kecil yang termashur ini terasa teduh. Udara masih segar, dedaunan basah oleh embun. Falisha berdiri di depan cermin besar yang sengaja di taruh pada ruang tamu rumahnya, merapikan rambut lurus yang biasanya ditutup hijab saat bekerja dan memastikan smartwatch barunya sudah sinkron dengan ponsel. Pagi ini ia mengenakan outfit olahraga branded tiga strip: legging premium, sepatu lari mutakhir, dan jersey dengan logo kecil yang harganya setara sebulan gaji pekerja kantoran. Semua ia kenakan dengan percaya diri, bukan sekadar untuk kenyamanan, tapi juga untuk memastikan setiap jepretan foto terlihat sempurna.
“Sayang, ayo kita berangkat sekarang, mumpung matahari belum tinggi, cahayanya masih bagus buat foto,” serunya dengan nada manja nan ceria.
Rayyan, pacarnya, menunggu di atas motor bebeknya dengan memegangi botol minum isi ulang dan tas ransel lari pudar yang terlalu sering dicuci dan jemur. Penampilannya jauh berbeda: kaos sederhana, celana pendek, dan sepatu karya anak bangsa yang solnya mulai menipis. Ia hanya tersenyum tipis sambil berkata, “Aku kira kita mau olahraga. Ternyata kita mau bikin konten.”
Falisha terkekeh, dengan gaya tetap manja, menghampiri sambil menaiki motor. “Ya dua-duanya dong. Olahraga, sekalian bikin konten. Biar seru.”
Di antara mereka ada jurang sosial yang nyata. Falisha seorang wanita karir sukses, penghasilan bulanannya lebih dari cukup untuk hidup nyaman: rumah di cluster modern, mobil pribadi, gaji tinggi dari posisinya di kantor. Sementara Rayyan bekerja dengan idealisme, gajinya pas untuk kontrakan kecil dan biaya sehari-hari. Tapi ada sesuatu yang membuat Falisha sangat mencintai dan bertahan di sampingnya: kecerdasan Rayyan, cara pikirnya yang kritis, dan cara ia menertawakan absurditas hidup.
Mereka pun menggeber motor tua ke taman kota, sementara di sepanjang jalan Falisha sibuk bercerita tentang tren pasangan urban: yoga couple di studio kaca, fun run dengan jersey seharga motor, hingga retreat kesehatan di Bali yang ramai diposting para selebgram. Semua terlihat indah di Instagram, seolah pasangan itu hidup dalam kebugaran dan cinta tanpa cela.
Rayyan mendengarkan, lalu senyum miris terlihat samar di kaca spion motor yang retak. “Sha, kamu sadar nggak? Semua yang kamu lihat di Instagram itu nggak lebih dari simulasi. Orang tampak sehat di foto, padahal bisa jadi habis itu langsung pesan pizza dua loyang. Heidegger pasti gedek-gedek kalau lihat manusia modern jatuh dalam das Man: ikut arus publik tanpa tahu apa yang otentik.”
Falisha memepetkan duduknya ke depan, sambil mempererat pelukannya. “Kamu itu ya, selalu bisa bikin hal sederhana jadi kuliah filsafat.”
“Aku serius,” jawab Rayyan. “Kalau olahraga cuma demi kamera, kita bisa capek dua kali. Capek bergerak, capek pura-pura. Husserl bilang, pengalaman itu soal kesadaran. Kalau kesadaran kita diarahkan ke kamera, kita berlari bukan demi tubuh, tapi demi lensa.”
Ucapan itu membuat Falisha terdiam beberapa detik. Dalam hati, ia tahu ada benarnya. Tapi ia memilih tersenyum. “Ya sudah, kita gabungkan saja. Kamu lari demi kesehatan, aku lari demi konten. Anggap ini eksperimen fenomenologi cinta.”
Rayyan tertawa kecil. “Eksperimen fenomenologi cinta? Hmm, itu judul buku yang bagus.”
Ketika akhirnya sampai di taman, suasana sudah ramai. Anak-anak berlarian berebut bola plastik, bapak-bapak pengayuh becak asyik main catur di bawah pohon, ibu-ibu obesitas mengikuti senam irama dengan instruktur yang penuh energi. Ada pula pasangan muda lain yang sibuk selfie dengan tripod mini. Di antara keramaian itu, mereka berdua mulai jogging. Langkah Falisha ringan, tubuhnya terlatih. Rayyan berlari lebih pelan, napasnya cepat tersengal, tapi senyumnya tetap tenang.
Baru lima menit, Falisha berhenti sambil menepuk bahunya. “Sayang, sini sebentar. Cahaya di sini bagus banget. Foto dulu, yuk.”
Rayyan mendesah. “Sha, kita baru lari sebentar. Kalau Husserl lihat, mungkin dia bilang kita kehilangan esensi pengalaman.”
“Sudah, jangan bawa-bawa filsuf. Meringis aja dulu,” sahut Falisha dengan suara manja sambil menggandeng tangannya.
Krek. Kamera menangkap momen itu: tangan Rayyan yang sederhana menggenggam jemari Falisha yang bercincin mahal. Kontras nyata, tapi di foto, yang terlihat hanyalah kebersamaan.
Setelah beberapa putaran jogging, mereka duduk di bangku taman. Nafas Rayyan berat, kaos lusuhnya basah oleh keringat. Falisha membuka ponsel seri terbarunya, memilih filter, lalu mengunggah foto mereka. Tak butuh waktu lama, notifikasi berdatangan: “Couple goals banget!”, “Kompak abis!”, “Gemesin banget sih kalian.”
Falisha tersenyum puas, tapi kali ini ia menatap wajah Rayyan lebih lama daripada layar. “Lihat, banyak yang komentar. Katanya kita pasangan ideal.”
Rayyan menggeleng sambil tersenyum miris. “Lucu ya, Sha. Orang kira kita pasangan paling sehat, padahal aku tadi hampir tumbang. Kita cuma main drama kecil, dan mereka mempercayainya penuh.”
Ucapan itu membuat Falisha termenung. Dalam dunia medsos, tubuh memang bukan lagi tubuh biologis, melainkan tubuh simbolis. Merleau-Ponty pernah menulis bahwa tubuh adalah subjek pengalaman, sarana kita hadir di dunia. Namun di Instagram, tubuh berubah jadi objek visual: dipoles, diposisikan, lalu dipamerkan. Apa yang otentik jadi kabur. Yang tersisa hanyalah representasi: seolah-olah sehat, seolah-olah bahagia.
Falisha menghela napas, lalu menggenggam tangan Rayyan. “Tapi tahu nggak, sayang? Aku bahagia bukan karena komentar orang. Aku bahagia karena duduk di sini sama kamu, meski kita ngos-ngosan. Kamera cuma bonus.”
Kata-kata itu membuat Rayyan menatapnya dengan serius. Ia melihat sisi lain dari kemewahan pacarnya: di balik segala kemewahan, ia tetap punya kerinduan yang sederhana, untuk ditemani, ditertawakan, dan dicintai apa adanya. “Mungkin kamu benar,” katanya pelan. “Sehat itu bukan cuma soal tubuh. Kadang, yang bikin kuat justru hati yang saling menenangkan.”
Falisha tersenyum, matanya berbinar. “Aku punya segalanya, Ray. Tapi kamu tahu apa yang nggak pernah bisa aku beli? Rasanya ketika ada orang yang membuat aku merasa cukup, tanpa harus jadi orang lain. Dan itu cuma ada di kamu.”
Bagi Rayyan, kata-kata itu seperti pelukan mesra tak kasat mata. Dunia boleh menertawakan kesederhanaannya, tapi di sisi Falisha ia menemukan ruang untuk hadir dengan cara paling otentik: menjadi dirinya sendiri.
Mereka pun berjalan pulang perlahan. Jalanan kota mulai padat, matahari kian terik, tapi hati mereka terasa ringan. Rayyan masih sempat bercanda, “Sayang, lain kali kita upload foto lagi saja, biar enggagment medsos naik, tapi nggak usah olahraga. Hemat tenaga. Foto di karaokean atau Bar saja. hahaha”
“Boleh, yukkk gassss ntar malam” jawab Falisha dengan senyum nakal dan penuh goda.
Tawa mereka pecah, tulus, tanpa kamera. Dan mungkin, di situlah kejujuran sejati berada: bukan pada feed Instagram yang penuh filter, tapi pada momen-momen kecil yang hanya mereka berdua yang tahu.
Di dunia medsos, orang sering mengira couple goals adalah sepatu mahal, yoga pose sempurna, atau feed Instagram yang estetik. Tapi bagi Falisha dan Rayyan, couple goals sejati ternyata jauh lebih sederhana. Couple goals sejati adalah keberanian untuk hadir bersama, meski gaji berbeda, meski sepatu tak sama, meski keringat asin dan foto penuh ilusi.
Dan barangkali, di balik segala satir kehidupan modern, cinta menemukan ruangnya yang paling murni: pada tawa yang tak pernah sempat difoto, pada genggaman tangan yang tak peduli siapa lebih kaya, dan pada kenyataan bahwa kebahagiaan sejati kadang justru lahir dari hal-hal sederhana.
Gambar: Active Movement Indonesia
BACA LAINNYA: ARTIKEL
OUR ADDRESS
Perum Pondok Bestari Indah, Blk. B1 No.49B, Dusun Klandungan, Landungsari, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65151
CONTACT US
WORKING HOURS
Monday - Friday
9:00 - 18:00
