Bendera Setengah Tiang, 1 Oktober, dan Tragedi Kanjuruhan

OPINI

Arif Subekti

10/14/2025

Di penghujung bulan September, di beberapa grup WhattsApp, beredar anjuran untuk mengibarkan bendera setengah tiang.

Maka, sebagai perwujudan kurikulum berbasis kehidupan, saya memberikan tugas kepada mahasiswa peserta matakuliah Sejarah dan Politik Memori Prodi S1 Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, khususnya di pertemuan kelima. Saya minta mereka untuk membuat rekaman, boleh foto atau video tentang praktik mengingat yang diwajibkan (duty to remember) ini.

Ya, anjuran di grup Whattsapp itu berbunyi, setiap warga negara (atau anggota WAG) diminta untuk tidak lupa mengibarkan bendera setengah tiang pada Selasa 30 September 2025, dan mengibarkan bendera satu tiang penuh, pada Rabu 1 Oktober 2025. Setengah tiang, dalam forward-an pesan tersebut, adalah peringatan/commemoration terhadap Peristiwa G 30 S PKI. Sedangkan pengibaran 1 tiang penuh, adalah peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

Ilustrasi: Active Movement Indonesia

Setengah tiang (half-mast), dari segi teknis, artinya pengibaran bendera pada posisi setengah tiang, sebagai simbol universal akan rasa hormat serta duka cita. Misalnya, untuk menghormati dan menunjukkan duka cita atas meninggalnya pejabat pemerintah. Bukan itu saja, half-mast juga dilakukan setelah terjadinya bencana atau tragedi, misalnya bencana banjir di Valencia, 29 Oktober 2024. Untuk menunjukkan duka cita nasional, pemerintah Spanyol menganjurkan pengibaran bendera setengah tiang, atas bencana yang mengakibatkan menginggalnya sekira 235 jiwa itu. Sedangkan pengibaran satu tiang penuh, menunjukkan keadaan normal, perayaan nasional tertentu, atau—dalam konteks ini--akhir dari masa berkabung.

Jumat pagi, 3 Oktober 2025, hasil dari tugas mahasiswa kami bahas di kelas. Bagi mahasiswa yang bukan Arek Ngalam, alias indekos; mereka mengambil gambar atau video di sekolah, kantor pemerintahan, markas militer, serta beberapa di lingkungan mereka tinggal. Sedangkan bagi mahasiswa yang domisili aslinya Malang, mereka merekam praktik mengingat dalam bentuk simbol setengah tiang pada 30 September dan satu tiang pada penuh pada pengibaran bendera merah putih pada 1 Oktober itu, di sekitar rumah mereka.

Satu pertanyaan muncul, bagaimana masyarakat Malang mengingat Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022? Jika pengibaran satu tiang penuh adalah duty to remember yang rujukannya adalah Kesaktian Pancasila, dimana dikatakan bahwa pada 1 Oktober 1965, Mayjen. Soeharto memimpin operasi penumpasan pemberontakan G30S/PKI; bagaimana masyarakat Malang mengingat tragedi usai pekan ke-11 liga 1 2022/2023, antara tuan rumah Arema FC versus Persebaya Surabaya? Apakah 135 nyawa supporter yang meninggal dunia pada (atau setelah) 1 Oktober itu, belum layak disebut duka nasional—atau setidak-tidaknya duka bagi warga Malang?

Sebagian mahasiswa, menyatakan bahwa cara mereka mengingat Tragedi Kanjuruhan adalah lewat sosial media, dengan memposting gambar atau ungkapan, serta menaikkan tagar tertentu terkait dengan Tragedi Kanjuruhan. Misalnya, #usuttuntas; #justiceforkanjuruhan; #135+, dan lain sebagainya. Mereka mengaku tidak lupa, cuma cara mengingatnya saja yang tidak dalam selubung upacara seremonial, atau simbolisme pemenuhan kewajiban selaku warga negara. Mengingat Kanjuruhan, kata mereka, adalah tentang kemanusiaan.

Ilustrasi: Arif Subekti

Ilustrasi: Arif Subekti

Di akhir perkuliahan Jumat pagi itu, aku berupaya menyusun kesimpulan. Bahwa ingatan tentang Tragedi Kanjuruhan, (idealnya) adalah ingatan yang menubuh (embodied) alih-alih dicangkokkan (embedded), khususnya bagi warga Malang. Artinya, ingatan tragedi kemungkinan tidak hadir di ruang resmi seperti upacara peringatan tragedi kanjuruhan tiap 1 Oktober di kantor pemerintah dan halaman sekolah, lewat videotron selebar 4 X 8 meter di pojok jalan poros, atau di baliho-baliho berbayar di seantero Malang Raya. Ia menyelinap dalam obrolan warung kopi. Ia sekilas tertangkap mata lewat tempelan pamphlet hitam putih di pos polisi, jembatan penyebrangan, juga tiang listrik dan tembok pertokoan. Ia juga muncul dalam pameran yang diadakan mahasiswa FIB Univ. Brawijaya, dua hari sebelum kuliah Jumat pagi itu.