
Antara Aroma Lavender dan Debu yang Beterbangan: Cerita Healing Emak-Emak Masa Kini
ESAI NARATIF
N.R. Fadhli
10/19/20253 min read


Ilustrasi: Active Movement Indonesia
Fenomena Pilates fever kini menjadi wajah baru gaya hidup perempuan urban. Di kota-kota besar, studio Pilates tumbuh bak jamur di musim hujan. Ruangan berpendingin dengan aroma lavender, instruktur bersertifikat internasional, serta interior minimalis dengan lantai kayu mengilap menjadi panggung baru bagi emak-emak muda berduit. Mereka datang dengan pakaian athleisure yang modis, membawa tumbler kekinian, dan wajah segar siap ber-selfie. Dari luar, ini tampak seperti simbol kemewahan baru; tapi di dalamnya, ada dorongan yang sangat manusiawi, yaitu kebutuhan akan healing setelah hari-hari panjang mengurus rumah, dapur, anak, suami, bahkan bisnis online.
Saya berbincang dengan Rani, 33 tahun, salah satu penggiat Pilates yang kini sudah menjadi anggota tetap di sebuah studio ternama di ibu Kota salah satu Provinsi di Indonesia. “Awalnya saya cuma ikut teman,” ujarnya sambil tersenyum. “Waktu itu saya lagi stres banget, urus kerjaan kantor dan bisnis sampingan yang profitnya lebih besar dari kerjaan utama itu. Saya butuh waktu buat diri sendiri. Pas ikut Pilates, rasanya kayak disembuhkan. Bukan cuma badan yang enteng, tapi pikiran juga plong.”
Ketika saya tanya apakah motivasinya murni karena kesehatan atau karena tren, Rani tidak menampik. “Dua-duanya, bang,” katanya jujur. “Kalau teman-teman lain udah pada ikut kelas baru dan aku belum, ada rasa ketinggalan juga. Tapi setelah beberapa kali ikut, aku sadar yang bikin aku betah itu rasa damainya. Selama satu jam di studio, aku bisa diam, bisa napas tenang, tanpa mikir tagihan kerjaan kantor dan rencana bisnis esok hari .”
Dari kacamata psikologi positif, pengalaman seperti yang dialami Rani menggambarkan flow experience: kondisi di mana seseorang tenggelam sepenuhnya dalam aktivitasnya hingga lupa waktu, menemukan keseimbangan antara tantangan dan kemampuan. Dalam hal ini, Pilates menjadi bentuk self-care yang memungkinkan perempuan untuk merebut kembali ruang personalnya, ruang di mana tubuh dan batin bisa beristirahat dari beban peran ganda.
Namun, jika kita keluar sedikit dari gemerlap kota, suasananya berubah total. Di ujung kampung, menjelang senja, lapangan tanah yang becek berubah menjadi arena tawa. Sekelompok emak-emak dengan daster longgar dan sandal jepit mulai bermain voli. Tak ada musik lembut, tak ada matras empuk, tapi ada sorak semangat, ada teriakan gembira, dan ada tawa yang pecah setiap kali bola salah arah.
Saya sempat berbincang dengan Bu Narti, 47 tahun, penjual sayur di pasar yang rutin bermain voli setiap sore. “Main voli itu obat, Mas,” katanya sambil tertawa. “Pagi jualan, siang masak, ngurus cucian, ngurus anak. Kalau sore nggak main, rasanya kayak belum beres hari ini. Di lapangan ini, kita bisa ketawa, bisa marah-marah, bisa lupa semua capek.”
Baik Rani maupun Bu Narti, keduanya berbicara dengan bahasa yang berbeda, tapi isi pesannya sama: mereka butuh healing. Bedanya hanya pada bentuk dan konteks sosialnya. Pilates menjadi bentuk pemulihan yang elegan, sistematis, dan individual, serta dilakukan di ruang tertutup, berbiaya sangat tinggi untuk ukuran penjual sayur di pasar, dengan suasana meditatif. Sedangkan voli kampung adalah healing yang komunal, spontan, murah, dan penuh interaksi sosial.
Secara filosofis, keduanya mencerminkan manifestasi yang berbeda dari tujuan yang sama: merawat tubuh dan jiwa setelah hari panjang yang melelahkan. Dalam pandangan Aristoteles, kebahagiaan (eudaimonia) muncul ketika manusia menjalani aktivitas yang sesuai dengan kodratnya. Baik Pilates maupun voli menjadi sarana aktualisasi diri bagi emak-emak yang kesehariannya didominasi oleh kerja pengasuhan dan domestik. Gerak tubuh menjadi ekspresi kebebasan, sejenak keluar dari peran yang melelahkan, menemukan diri yang otonom dan merdeka.
Namun di balik perbedaan bentuk, ada makna sosial yang lebih luas. FOMO Pilates mencerminkan kelas sosial yang lebih tinggi, di mana kesehatan dan kebugaran bukan hanya kebutuhan biologis, tapi juga simbol status. Kelas, citra, dan estetika tubuh menjadi penanda identitas. Sementara itu, voli tanah di kampung adalah representasi kelas bawah-menengah yang menjadikan olahraga sebagai wadah solidaritas dan kebersamaan. Gerak mereka mungkin tak sempurna, tapi maknanya sangat otentik: tubuh yang bekerja, hati yang tertawa, dan komunitas yang saling menopang.
Dalam kacamata Pierre Bourdieu, kedua aktivitas ini bisa dibaca melalui konsep habitus dan cultural capital. Pilates menunjukkan bagaimana kelas sosial mengekspresikan gaya hidup sehat dengan selera “halus” dan eksklusif, sementara voli kampung menunjukkan habitus kelas rakyat dengan bentuk kegiatan yang bersahaja namun sarat makna sosial. Jadi, bukan semata olahraga, tapi juga cerminan tingkat sosioekonomi yang membentuk selera, nilai, dan pola healing yang berbeda.
Namun, tidak ada yang lebih “baik” di antara keduanya. Emak-emak Pilates mencari keseimbangan melalui kesadaran tubuh dan kontrol diri; emak-emak voli menemukannya lewat kebersamaan dan tawa. Keduanya sama-sama bekerja keras: mengurus rumah, anak, dapur, bahkan bisnis. Dan keduanya sama-sama berhak atas waktu istirahat dan ruang kebahagiaan.
Menariknya, di balik semua perbedaan itu, ada kesamaan tujuan yang universal, yaitu mencari kebaikan. Baik di studio ber-AC maupun di lapangan tanah yang disiram hujan sore, mereka sama-sama berusaha menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Pilates memberikan ruang bagi self-empowerment, sedangkan voli memberikan ruang bagi social empowerment.
Barangkali di sinilah letak keutamaan sejati dari kedua kegiatan itu. Keduanya adalah bentuk perlawanan kecil terhadap kelelahan, tekanan, dan rutinitas hidup perempuan. Keduanya menunjukkan bahwa healing tidak harus seragam antar semua warga, ia bisa tampil dalam bentuk gerak yang berbeda, namun dengan jiwa yang sama: memulihkan.
Ketika Rani menarik napas panjang di atas matras reformer, dan ketika Bu Narti menepuk bola tanah yang kotor penuh debu, keduanya sesungguhnya sedang melakukan hal yang sama, yaitu mengembalikan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan kehidupan. Di titik itulah, FOMO Pilates dan voli tanah berhenti menjadi simbol kelas, dan berubah menjadi refleksi kemanusiaan: bahwa setiap perempuan, dari mana pun asalnya, berhak menemukan kedamaian melalui gerak tubuhnya sendiri.
OUR ADDRESS
Perum Pondok Bestari Indah, Blk. B1 No.49B, Dusun Klandungan, Landungsari, Kec. Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65151
CONTACT US
WORKING HOURS
Monday - Friday
9:00 - 18:00
